Friday, May 3, 2024
Google search engine
HomeUncategorizedThe Tragedy of Compromise (bagian 7)

The Tragedy of Compromise (bagian 7)

Mengkontaminasi Amanat Agung

[AkhirZaman.org] Injili Baru mempunyai pengaruh yang mendunia melalui berbagai organisasi misi, demikian juga melalui konferensi-konferensi dunia yang dihadiri oleh orang-orang dari berbagai negara. Jadi, permasalahan Injili Baru tidak terbatas di Amerika Serikat saja, tetapi akan dihadapi oleh misionari dari negeri lain.

Salah satu faktor utama awal mendunianya penyebaran pengajaran Injili Baru adalah Kongres Dunia Injili yang diselenggarakan di Berlin pada tahun 1966. Billy Graham menjadi motivator utama di balik kongres ini. Banyak informasi mengenai hal itu bisa diperoleh di dalam dua buku-besar, One Race, One Gospel, One Task, yang diedit oleh Carl Henry dan Stanley Mooneyham. Carl McIntire, seorang pemimpin fundamentalis, dilarang masuk kongres tersebut, walaupun ia memegang surat kepercayaan pers. Namun, Oral Roberts, pemimpin Pentakosta, disambut dengan tangan terbuka. Ini merupakan salah satu pertemuan internasional yang menyebarkan virus Injili Baru kepada sejumlah besar para pemimpin dari negeri lain. Pada tahun 1969 Kongres Injili Amerika Serikat dilaksanakan di Minneapolis. Kira-kira lima ribu orang hadir dan pembicaranya adalah Billy Graham dan yang lain. Dalam pertemuan itu ditekankan masalah aksi sosial.

Key ’73 merupakan jaringan lain dari rangkaian usaha keras misi ekumenis itu. Ia merupakan usaha penginjilan ke kota-kota dan masyarakat-masyarakat secara serentak dan membenua. Terdapat 130 kelompok gereja yang berpartisipasi. Komite Eksekutifnya terdiri dari Presbyterian, Baptis Amerika, Methodis, Southern Baptist, Anglikan dan lain-lain. Themanya adalah “Memanggil Benua Kita Datang Kepada Kristus”. Gagasan usaha tersebut lahir dalam sebuah pertemuan khusus di Marriot Key Bridge Motor Hotel di Arlington, Virginia, pada tahun 1967. Apa yang dinamakan dengan Key Bridge Consultation ini dipimpin oleh Billy Graham dan Carl Henry dan terdiri atas kira-kira empat puluh pemimpin. Mereka memutuskan mengembangkan beberapa rencana untuk menghadapi setiap orang di Amerika Utara dengan Injil. Walau itu merupakan tujuan yang mulia, namun metode pencapaiannya diputuskan secara ekumenis. Para pemimpin di antara beberapa denominasi yang paling sesat, seperti misalnya United Methodist Church, turut ambil bagian. Demikian juga dengan kelompok-kelompok Katolik Roma. Perhatikan penjelasan para uskup Katolik di Missouri ketika mereka memanggil orang setia untuk turut ambil bagian:

Kami, Uskup-uskup Katolik Missouri, dengan sukacita mengumumkan kepada anda semua, bahwa sebagai wakil umat Katolik, kami telah menerima sebuah undangan untuk bergabung di dalam program yang dikenal dengan Key ’73 …

Ia akan dipenuhi dengan semangat ekumenisme yang asli… Salah satu cara untuk memupuk pembaharuan hubungan pribadi kita dengan Kristus adalah dengan sepenuh hati mengambil bagian di dalam pengorbanan diri Kristus di dalam Misa, ketaatan penuh kepada Kristus yang hadir di dalam Ekaristi, yakni pertemuan pribadi dengan Kristus sang Pemulih dan Pendamai di dalam Sakramen Penebusan Dosa… penggunaan Rosario… Kita harus berusaha keras untuk memperdalam ketaatan dan kesetiaan kepada Bapa Tersuci. Paus Paulus VII.[55]

Sedikit sekali yang memperhatikan perbedaan antara kesesatan dan orang percaya. Salah satu brosur Key ’73 berkata, “Key ’73 merupakan sebuah tanda yang penuh pengharapan, sehingga peperangan antara sebuah fundamentalisme yang mati dan sebuah liberalisme yang tidak bernyawa kini ditinggalkan di belakang, dan hanya merupakan perang bagi mereka yang ingin hidup dengan masa lalu”.[56] Pernyataan ini tentu saja hanya merupakan wujud suatu angan-angan, yaitu, bahwa fundamentalisme dan liberalisme telah mati, sehingga kita pindah kepada masalah yang lebih besar dan lebih baik. Sebenarnya, masih ada peperangan sengit antara kesalahan, seperti yang terwujud di dalam liberalisme. Dan kebenaran, seperti yang terwujud di dalam fundamentalisme.

Pada tahun 1974 langkah berikutnya diambil untuk memperluas cakupan Injili Baru ke seluruh dunia. Kongres Internasional Penginjilan Dunia diselenggarakan di Lausanne, Switzerland. Sekali lagi, sebuah semangat ekumenis menang. Billy Graham menjadi ketua kehormatan. Tokoh lain yang menjadi komite perencana adalah Bill Bright, Leighton Ford, Don Hoke, Harold Lindsell, Stan Mooneyham, dan Clyde Taylor. Graham dan Carl Henry berbicara disitu, demikian juga Malcolm Muggeridge, Ralph Winter, George Peters, Rene Padilla, Donald McGavran, John Stott dan lain-lain. Ada yang berkomentar, bahwa kongres tersebut jelas sekali merupakan “Sebuah Konsorsium Kompromi”. Sekitar dua-perlima orang injili yang hadir adalah anggota gereja yang berafiliasi dengan World Council of Churches (Dewan Gereja-gereja Dunia). Billy Graham menegaskan kembali fakta bahwa ia mempunyai “hubungan yang hangat” dengan World Council of Churches dan berharap akan terus demikian. Konsep penginjilan ekumenis didorong dengan kuat.

Pertemuan di Lausanne memberikan dorongan yang besar kepada apa yang dinamakan “ethno-theological” atau pendekatan “kontekstualisasi” bagi pekerjaan misi luar negeri. Salah satu sub-komitenya adalah “Konsultasi Lausanne mengenai Injil dan Budaya”. diketuai oleh John Stott. Ia berpendapat bahwa “hanya … dengan hasil Kongres Lausanne mengenai Penginjilan Dunia pada tahun 1974, para pemilih injili yang secara bulat mengakui budaya sebagai pusat kepentingan sebagai jalan komunikasi yang efektif bagi Injil”[57] Ini memang sebuah pernyataan yang sangat signifikan. Benarkah “budaya” memiliki peran utama yang terpenting di dalam memberitakan Injil? Ini jelas suatu penyimpangan dari pandangan misi yang tradisional (dan, kami yakin, yang alkitabiah). Kita tidak boleh mengadaptasikan diri kepada manusia. Manusia yang seharusnya menundukkan diri kepada Allah. Allah tidak mempunyai pengajaran yang harus dibentuk oleh budaya manusia. Ia mempunyai pengajaran yang menyatakan sebuah ultimatum kepada manusia yang tersesat, bahwa mereka harus bertobat dan kembali kepadaNya.

Apa yang dimaksud dengan “kontekstualisasi”? Ada yang mengatakan istilah tersebut “mengacu kepada titik yang meninggalkan pemikiran theologi sistematik menuju kepada pandangan sejarah kontemporer yang bertentangan dengan tradisi alkitabiah”.[58]Dengan kata lain, orang berusaha agar pengajaran dapat disesuaikan dengan keinginan manusia dan pemikiran mereka, bukan yang memanggil mereka untuk menerima pola pemikiran Alkitab. McGavran, sang ‘imam agung’ “Gerakan Pertumbuhan Gereja” menyampaikan hasil penelitian yang mengagetkan ini: “Hambatan besar orang untuk bertobat adalah masalah sosial, bukan theologis. Akan banyak orang Islam dan Hindu yang segera bertobat, jika ada jalan bagi mereka untuk menjadi Kristen tanpa meninggalkan saudara mereka, yang bagi mereka kelihatan seperti pengkhianatan”.[59]

Kitab Suci secara khusus menyatakan bahwa hambatan pertobatan adalah karena masalah theologis. Manusia sudah mati karena dosa-dosanya (Ef. 2: 1), dan benar-benar buta akan kebenaran rohani (2 Kor. 4: 3-4). Tidak seorangpun yang mencari Allah (Rom. 3: 11); mereka dihinggapi kekerasan hati (Rom. 2: 5). Semua penyesuaian kultural (budaya) di dunia tidak akan mengatasi keadaan-keadaan ini. Hanya pekerjaan Roh Allah yang berkuasa melalui pemberitaan Injillah yang akan menghasilkan perubahan!

Dari pertemuan Lausanne I (dibandingkan dengan pertemuan Lausanne II yang berikutnya), hadirlah gegap-gempita “Perjanjian Lausanne”. Keputusan pertemuan itu menghasilkan limabelas pernyataan yang dianggap merupakan cermin “konsensus injili” dalam hal-hal tertentu yang menjadi pedoman bagi doktrin dan praktek. Ada dua hal yang perlu dicatat. Yang pertama berkaitan dengan Kitab Suci. Pernyataan itu berbunyi, “Kami mengakui inspirasi, kepenuhan kebenaran dan otoritas Allah, baik di dalam keseluruhan Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sebagai satu-satunya Firman Allah yang tertulis, tanpa kesalahan di dalam semua pernyataannnya, dan merupakan satu-satunya pedoman iman dan praktek yang sempurna”.[60]Susunan kata tersebut diciptakan untuk memenuhi keinginan Injili Baru yang mempertahankan posisi bahwa Alkitab tidak “tegas” (mengajar dengan otoritas yang mutlak) mengenai hal-hal seperti geografis, ilmu pengetahuan, atau rincian sejarah, kecuali hanya doktrin yang penting untuk keselamatan. Bidang lain adalah yang berkaitan dengan Roh Kudus. Pernyataan itu mendorong orang Kristen untuk berdoa mohon kunjungan khusus dari Roh Kudus, sehingga “segala karuniaNya bisa memperkaya tubuh Kristus”.[61]Hal ini termasuk untuk mengakomodasi kaum kharismatik yang hadir dalam jumlah besar. Salah satu uraian yang paling menyedihkan mengenai keadaan evangelikalisme pada saat itu adalah keterangan yang dimuat di dalam sebuah artikel yang ditulis oleh pimpinan salah satu seminari injili yang paling bergengsi di Amerika, sebuah institusi yang dianggap oleh banyak kalangan sebagai fundamentalis. Sebagai peserta yang diundang, ia menyimpulkan bahwa walaupun kita tidak setuju dengan metode orang lain, kita tidak boleh mengkritik mereka yang mencoba menginjil. Sebagai anggota Independent Fundamental Churches of America (Gereja-gereja Fundamental Independen Amerika), ia menulis sebuah artikel untuk publikasi resmi mereka. (Harus dicamkan secara terbuka, bahwa banyak anggota organisasi tersebut tidak menyetujui kesimpulannya.) Penulis tersebut mengatakan,

Bagi penulis, tantangan yang kita hadapi di dalam IFCA bukanlah pertanyaan mengenai apakah Konferensi Lausanne itu harus begini atau begitu… Masalah sesungguhnya yang kita hadapi adalah pertanyaan mengenai apa yang harus kita lakukan secara konstruktif sebagai sebuah gerakan dan sebagai individu dan gereja agar Injil bisa diberitakan kepada segala makhluk. Sebelum kita sendiri secara bulat menyepakati tugas penginjilan dunia, kita tidak boleh mengkritik orang lain yang secara jujur berusaha ke arah itu.[62]

Sayangnya, pengamatan yang baru dikutip di atas merupakan ciri-ciri jawaban dari berbagai kalangan injili untuk mengkompromikan program sejenis ini. Ia kekurangan semangat juang untuk membongkar kesalahan yang seharusnya diperoleh di dalam analisis seorang pemimpin Kristen terhadap pandangan theologis yang demikian campur-aduk seperti yang ditemukan di dalam konferensi di Lausanne. Penulis menyurati pemimpin Kristen tersebut pada saat itu. Sebagian surat tersebut dikutip disini, karena membahas beberapa hal yang sangat penting yang harus dihadapi orang Kristen.

Saya baru saja selesai membaca artikel anda dalam Voice edisi Maret-April tentang Kongres Penginjilan Dunia di Lausanne. Saya sangat kecewa dengan artikel tersebut. Artikel itu tidak memaparkan bahaya tersembunyi dan kompromi terbuka dari pertemuan tersebut yang dulu pernah dinyatakan di dalam Kongres Berlin beberapa tahun yang lalu. Anda memang menyebutkan fakta bahwa ada diantara mereka yang orthodoksi theologisnya diragukan, tetapi anda tidak menekankan hal penting ini seperti yang dikatakan Kitab Suci. Jelas “khalayak ramai yang campur-aduk” ini sama sekali tidak mewakili posisi historis IFCA seperti yang saya pahami. Bagi saya kelihatannya tantangan yang dihadapi IFCA berkaitan langsung dengan pertanyaan “mengenai apakah Konferensi Lausanne memang harus demikian”.

Hal ini merupakan masalah yang sangat penting. Ada atau tidaknya orang-orang yang hadir disitu yang mempunyai hati bagi misi dunia dan keprihatinan kepada orang-orang yang terhilang ada disamping masalah ini. Masalahnya adalah apakah keprihatinan ini dinyatakan di dalam kerangka alkitabiah atau tidak. Saya yakin tidak …

Gaya kompromi yang dicerminkan di Lausanne harus benar-benar diungkapkan oleh orang-orang yang memegang posisi pimpinan dan memiliki pengaruh. Banyak diantara kita yang “sungguh-sungguh memiliki beban komitmen untuk penginjilan dunia”, karena itu kita percaya bahwa kita memiliki hak dan kewajiban alkitabiah untuk mengkritik mereka yang berusaha keras untuk menginjil dalam konteks yang tidak alkitabiah.[63]

Christian Century yang liberal memberikan komentar mengenai pertemuan Lausanne: “Selain itu, ‘Perjanjian Lausanne’, yang merupakan sebuah penegasan iman dan kesaksian injili yang singkat namun berbasis luas, membuat jelas bahwa banyak orang Protestan konservatif telah siap menumpahkan isi koper fundamentalis yang menghambat mereka untuk mengambil bagian secara penuh di dalam kehidupan gerejawi yang mendunia”.[64]

Pada tahun 1989 Kongres Penginjilan Dunia Internasional kedua bersidang di Manila. Billy Graham juga merupakan salah seorang pendukung pertemuan ini. Ada yang menyebut pertemuan itu sebagai “Global Camp Meeting” . Pertemuan itu diikuti oleh berbagai peserta yang berasal dari latar-belakang dan perspektif theologis yang berbeda. Paling sedikit ada tiga masalah menonjol yang muncul dari pertemuan ini:

1. Bisakah kharismatik dan non-kharismatik bekerjasama?

2. Sampai tahap apa misi injili akan menjangkau pelayanan sosial?

3. Bagaimana orang menanggapi suara yang berkembang dari gereja “Dunia Ketiga”?

Leighton Ford menjadi ketua kongres tersebut. Pesertanya berasal dari setiap denominasi besar mulai dari Katolik Roma sampai kelompok injili, dan dari garis utama Protestan sampai kelompok kharismatik. Ada yang menyebut kongres tersebut merupakan pertemuan antar-kultural dan antar-denominasional terbesar yang pernah ada.

Nomor pertama dari ketiga masalah yang disebut di atas secara khusus sangat penting. Kelompok kharismatik hadir dalam jumlah yang besar. Jack Hayford, seorang gembala Pentakosta dari California, mengajukan satu permintaan yang kuat kepada semua kalangan injili agar terbuka bagi manifestasi “tanda-tanda dan mujizat” yang ajaib. Katanya, gereja akan berkembang, jika mengalami “tanda-tanda dan mujizat”.

Ada desakan luas agar orang Kristen terlibat dengan masalah sosial. Banyak yang merasa, bahwa “Manifesto Manila” yang dicetuskan itu merupakan pernyataan resmi kongres tersebut, terlalu berat mencerminkan theologi pembebasan. Dalam keadaan yang terbaik, theologi pembebasan menekankan perlunya untuk mengoreksi penyakit-penyakit sosial dunia melalui usaha gereja. Bagi para theolog pembebasan, keselamatan dipersamakan dengan transformasi sosial dan politis. Dalam keadaan yang terburuk, theologi pembebasan merupakan suatu gerakan sosial yang keras, revolusioner, yang diwarnai dengan Marxisme.

Banyak yang gembira dengan keluasan yang ditunjukkan di dalam pertemuan itu. “Lebih-lebih karena konferensi tersebut memanifestasikan rasa persatuan yang luar biasa, sebab kaum kharismatik dan non-kharismatik bergandengan tangan dan beribadah bersama, dan orang Katolik Roma dan Orthodoks disambut sebagai peserta dan mendapat perlakuan yang sama”.[65]Pengamat yang sama mencatat, “Perkembangan penting lainnya adalah melunaknya sikap keras Lausanne yang ada sampai saat ini terhadap Dewan Gereja-gereja Dunia. Sebuah ranting zaitun diulurkan bagi gerakan ekumenis”.[66]

Richard Heldenbrand meneliti dampak Injili Baru terhadap misi dalam karyanya yang sangat berwawasan, Christianity and New Evangelical Philosophies. Dengan secara khusus mengevaluasi dampak pekerjaan misi Charles Kraft dan Eugene Nida, Heldenbrand mencatat bahwa pekerjaan mereka membawa efek yang merugikan. Pada masa itu Kraft adalah dosen di Fuller Theological Seminary dan Nida menjadi Sekretaris di Persatuan Terjemahan Alkitab Amerika. Mereka mengemukakan sebuah pendekatan terjemahan Alkitab dan pemberitaan Injil yang mengatakan bahwa pertimbangan yang terpenting adalah apakah para pendengar itu memahami pesan yang disampaikan, bukan apakah pesan itu akurat atau tidak. “Fokus lama di dalam penerjemahan adalah bentuk dari pesan tersebut … Tetapi fokus yang baru telah berubah dari bentuk pesan menjadi tanggapan dari si penerima pesan”.[67]

Sementara kita jelas menginginkan terjemahan yang bisa dimengerti oleh orang biasa, kita juga harus selalu waspada agar terjemahan tersebut membawa arti yang sesungguhnya dari teks yang asli. Jika kita tidak melakukan hal itu, maka Kitab Suci hanya merupakan sebongkah tanah liat yang bisa dibentuk seenaknya oleh si penerjemah. Penekanan harus selalu diberikan kepada pesan tersebut, karena ia adalah pesan dari Allah dan tidak boleh dirusak dengan cara apapun. “Nabi yang beroleh mimpi, biarlah menceritakan mimpinya itu, dan nabi yang beroleh firmanKu, biarlah menceritakan firmanKu itu dengan benar! … Bukankah firmanKu seperti api, demikianlah firman Tuhan dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu?” (Yer. 23: 28-29).

Dari buku: the Tragedy of Compromise: The Origin and Impact of the New Evangelicalism

By: Ernest D. Pickering

Previous article
Next article
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments

Anda rindu Didoakan dan Bertanya?