Friday, May 3, 2024
Google search engine
HomePendalamanNubuatanORANG-ORANG WALDENSIA (1)

ORANG-ORANG WALDENSIA (1)

[AkhirZaman.org] Di tengah-tengah kegelapan yang menutupi dunia ini selama supremasi kekuasaan kepausan, terang kebenaran tidak dapat seluruhnya dipadamkan. Ada saksi-saksi Allah pada setiap zaman — orang-orang yang memelihara imannya pada Kristus sebagai satu-satunya pengantara antara Allah dan manusia, yang berpegang pada Alkitab sebagai satu-satunya pedoman hidup, dan yang menguduskan hari Sabat yang benar. Generasi berikutnya tidak akan pernah tahu betapa besar dunia ini berhutang kepada orang-orang ini. Mereka dicap sebagai orang-orang bida’ah (penganut aliran yang bertentangan dengan aliran resmi), yang memegang kepercayaan yang keliru. Motif mereka diragukan, tabiat mereka difitnah, tulisan-tulisan mereka dikekang, disalah-artikan, atau dirusakkan. Namun mereka tetap berdiri teguh, dan sepanjang zaman mereka mempertahankan kemurnian iman mereka, sebagai warisan suci bagi generasi yang akan datang.

Sejarah umat Allah selama zaman-zaman kegelapan yang mengikuti supremasi kekuasaan Romawi, telah dituliskan di surga, tetapi hanya sedikit dalam catatan sejarah manusia. Hanya sedikit catatan keberadaan mereka yang bisa didapatkan, kecuali dalam hal tuduhan-tuduhan para penganiaya mereka. Adalah kebijakan Roma untuk menghilangkan setiap perbedaan pendapat mengenai ajaran-ajaran atau dekrit-dekritnya. Setiap yang menyimpang, apakah manusia atau tulisan, harus dibinasakan. Pernyataan keragu-raguan atau yang mempertanyakan kekuasaan dogma kepausan, telah cukup alasan untuk membinasakan nyawa orang kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat jelata. Roma juga berusaha untuk membinasakan setiap catatan mengenai kekejamannya terhadap orang-orang yang mengingkari kekuasaannya. Konsili-konsili kepausan mengeluarkan dekrit agar semua buku-buku dan tulisan-tulisan yang berisi catatan-catatan seperti itu harus dibakar. Sebelum alat-alat cetak ditemukan, terdapat hanya sedikit buku-buku, dan dalam bentuk yang tidak tahan lama disimpan. Itulah sebabnya penganut-penganut agama Romawi hanya mengalami sedikit hambatan dalam melaksanakan maksud-maksud mereka.

Tak satupun gereja yang berada dalam kekuasaan Romawi yang, tanpa diganggu, bisa menikmati kebebasan hati nuraninya. Segera setelah kepausan memperoleh kekuasaan, ia menghancurkan semua yang menolak mengakui jalan-jalannya. Dan satu per satu gereja itu tunduk kepada pemerintahan dan kekuasaannya.

Di Britania Raya (Inggris) telah sejak lama berakar Kekristenan primitif. Kabar Injil yang diterima orang-orang Briton pada abad-abad pertama tidak dicemarkan oleh kemurtadan Roma. Penganiayaan yang dilakukan oleh kaisar-kaisar kafir, yang mencapai tempat jauh ini, adalah satu-satunya pemberian yang diterima oleh gereja-gereja Britania dari Roma. Banyak orang-orang Kristen yang melarikan diri dari penganiayaan di Inggris dan berlindung di Skotlandia. Dari sini kebenaran itu telah dibawa ke Irlandia, dan di semua negeri kabar Injil itu telah diterima dengan sukacita.

Pada waktu bangsa Saxon menyerang Britania, maka kekafiran memperoleh kekuasaan. Para penakluk ini merasa dirinya diremehkan kalau digurui oleh budak-budak mereka. Dan orang-orang Kristen telah dipaksa untuk mengundurkan diri ke gunung-gunung dan ke daerah-daerah bersemak-semak. Namun terang yang tersembunyi untuk sementara, terus menyala. Di Skotlandia, seabad kemudian, terang itu menyinarkan terang yang menerangi negeri-negeri yang jauh. Dari Irlandia, muncullah Columba yang saleh dengan teman-temannya, yang menghimpun orang-orang percaya di pulau terpencil, Iona. Mereka membuat pulau ini menjadi pusat usaha pekabaran Injil.

iona-abbey CopySalah seorang dari evangelis dari pusat pekabaran Injil ini adalah pemelihara hari Sabat menurut Alkitab, dan dengan demikian kebenaran ini telah diperkenalkan kepada orang-orang. Sebuah sekolah telah didirikan di Iona, dari mana para misionaris dikirimkan, bukan saja ke Skotlandia dan Inggris, tetapi juga ke Jerman, ke Swis dan bahkan ke Italia.

Akan tetapi Roma telah memusatkan perhatiannya ke Britania dan memutuskan untuk menguasainya. Pada abad keenam, misionarisnya menobatkan orang-orang kafir Saxon. Orang-orang barbar Saxon kafir yang sombong ini menerima para misionaris Roma, dan mempengaruhi ribuan orang untuk memeluk kepercayaan Romawi itu. Sementara pekerjaan itu maju, para pemimpin kepausan bersama-sama dengan mereka yang telah ditobatkan menghadapi orang-orang Kristen primitif. Tampaklah perbedaan yang menyolok. Orang Kristen primitif adalah sederhana, rendah hati, berpegang pada Alkitab dalam tabiat, pengajaran dan sikap, sementara para pemimpin kepausan bersama orang-orang Saxon yang sombong ditandai dengan menganut ketakhyulan, kemegahan dan kecongkakan kepausan. Utusan Roma meminta agar gereja-gereja Kristen mengakui supremasi kekuasaan kepausan.

Orang-orang Briton dengan rendah hati menjawab bahwa mereka ingin mengasihi semua orang, tetapi paus tidak berhak menguasai gereja, dan yang bisa mereka berikan kepadanya hanyalah sikap tunduk yang berlaku bagi setiap pengikut Kristus. Berkali-kali mereka mengusahakan agar orang-orang Kristen ini tunduk kepada kekuasaan Roma. Tetapi orang-orang Kristen yang rendah hati itu, yang heran melihat kesombongan yang diperlihatkan oleh para utusan paus, dengan tegas menjawab bahwa mereka tidak mengenal pemimpin lain selain Kristus. Sekarang nyatalah roh kepausan yang sebenarnya. Pemimpin-pemimpin Roma itu berkata, “Jikalau kamu tidak menerima saudara-saudara yang membawa perdamaian kepadamu, maka kamu akan menerima musuh yang membawa kepadamu peperangan. Jikalau kamu tidak mau bersatu dengan kami untuk menunjukkan jalan kehidupan kepada orang-orang Saxon, maka kamu akan menerima pukulan maut dari mereka.” — D’Aubigne, “History of the Reformation in the Sixteenth Century,” b. 17, ch. 2. Ini bukanlah gertak sambal. Peperangan, persekongkolan dan tipu muslihat telah dilakukan terhadap saksi-saksi iman Alkitab ini, sampai Gereja Britania dihancurkan atau dipaksa tunduk kepada kekuasaan paus.

Di negeri-negeri di luar kekuasaan Roma, selama berabad-abad telah terdapat kelompok-kelompok Kristen yang tetap hampir bebas seluruhnya dari kebejatan kepausan. Mereka dikelilingi oleh kekafiran, dan dengan berlalunya zaman telah dipengaruhi oleh kesalahan-kesalahan kekafiran tersebut. Tetapi mereka tetap menganggap Alkitab sebagai satu-satunya ukuran iman, dan berpegang kepada banyak kebenarannya. Orang-orang Kristen ini percaya keabadian hukum Allah dan memelihara hari Sabat hukum yang keempat. Jemaat-jemaat yang memegang iman dan praktek seperti ini terdapat di Afrika tengah dan di antara orang-orang Armenia di Asia.

Tetapi dari antara mereka yang menolak pelanggaran kekuasaan kepausan itu, orang-orang Waldensialah yang berdiri paling depan. Di negeri di mana kepausan telah memantapkan kedudukannya, maka kepalsuannya dan kebejatannyalah yang paling ditentang. Selama berabad-abad jemaat-jemaat di Piedmont mempertahankan kebebasan mereka. Tetapi waktunya akhirnya tiba pada waktu Roma memaksa mereka menyerah. Setelah dengan sia-sia berjuang melawan kekejaman Roma, para pemimpin jemaat ini dengan enggan mengakui supremasi kekuasaan kepausan, kepada siapa nampaknya seluruh dunia memberi pengakuan tanda takluk.

Namun, ada sebagian orang yang menolak patuh kepada kekuasaan paus atau pejabat-pejabatnya. Mereka memutuskan untuk tetap mempertahankan kesetiaannya kepada Allah, dan memelihara kemurnian dan kesederhanaan iman mereka. Maka pemisahanpun terjadi. Mereka yang bergabung pada iman yang dahulu, sekarang mengasingkan diri. Sebagian mereka meninggalkan Alpen, negeri leluhur mereka, dan mengangkat panji-panji kebenaran di negeri asing. Sebagian yang lain mengasingkan diri ke lembah-lembah sempit dan celah-celah bukit terjal. Di tempat-tempat ini mereka memelihara kebebasan mereka menyembah Allah.

Iman yang selama berabad-abad di pegang dan diajarkan oleh orang-orang Kristen Waldensia sangat bertentangan dengan doktrin palsu yang dikemukakan oleh Roma. Kepercayaan agama mereka didapat dari firman Allah yang tertulis, sistem Kekristenan yang benar. Tetapi petani-petani yang rendah hati ini, di tempat pengasingan mereka yang tersembunyi dan tertutup dari dunia luar, dan yang harus mengerjakan pekerjaan mereka sehari-hari menggembalakan ternak dan memelihara kebun anggur, belum sampai kepada kebenaran yang menentang dogma dan ajaran gereja yang murtad itu. Iman mereka bukanlah iman yang baru saja diterima. Kepercayaan agama mereka adalah warisan dari leluhur mereka. Mereka merasa puas dengan jemaat kerasulan — “iman yang telah disampaikan kepada orang kudus” ( Yudas 1:3). “Jemaat di padang belantara,” bukan hierarkhi yang dengan sombongnya bertahta di ibu kota besar dunia, adalah jemaat Kristus yang benar, penjaga kebenaran yang Allah suruh umat-Nya berikan kepada dunia ini.

 

 

 

 

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments

Anda rindu Didoakan dan Bertanya?