Saturday, April 20, 2024
Google search engine
HomePeristiwa AkhirZamanKemajuan TeknologiSiapakah Pemberi Suara yang Menentukan Presiden Amerika Serikat?

Siapakah Pemberi Suara yang Menentukan Presiden Amerika Serikat?

[AkhirZaman.org] Penghitungan suara pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat masih terus berlangsung di beberapa negara bagian yang kini menjadi “medan perang” bagi petahana Presiden Donald Trump dan penantangnya, Joe Biden.

Presiden Trump kembali melontarkan tuduhan adanya kecurangan dalam penghitungan suara, sementara Biden semakin yakin menang.

Kedua pihak berebut apa yang disebut sebagai suara ‘electoral college’ (EC) di beberapa negara bagian yang tersisa, untuk bisa meraih angka mayoritas nasional EC sebanyak 270 sebagai jumlah penentu kemenangan.

Terdapat 538 warga Amerika yang menjadi pemilih pengisi kursi ‘electoral college’ yang memberikan suara mereka untuk menentukan presiden selanjutnya.

Siapa dan apa tugas pemilih ‘electoral college’?

Di 48 dari 50 negara bagian, termasuk Washington DC, siapapun yang meraih suara terbanyak akan menentukan siapa yang menjadi pemilih EC di negara bagian itu. Mereka biasanya dipilih dari pengurus partai setempat.

Jadi tahun ini, Partai Republik akan menentukan siapa pemilih EC di Texas, sedangkan Partai Demokrat akan menentukan pemilih EC untuk California.

Namun UU di negara bagian Nebraska dan Maine mengatur, kedua kandidat bisa mendapatkan suara ‘electoral college’ terlepas dari siapapun yang meraih suara terbanyak.

Para pemilih EC di setiap negara bagian akan memberikan suara mereka pada 14 Desember mendatang. Hasilnya akan dihitung oleh Kongres Amerika Serikat pada 6 Januari 2021.

Proses ini berada dalam pengawasan Wakil Presiden Mike Pence dalam perannya sebagai ketua Senat.

Presiden terpilih kemudian akan memulai masa jabatannya pada tanggal 20 Januari. Ada pula yang berpendapat bahwa DPR Amerika Serikat pada akhirnya yang harus memilih di antara Biden dan Trump.

Bahkan ada juga skenario di mana Ketua DPR Nancy Pelosi, bisa menjadi pejabat presiden, bila perselisihan perolehan suara pilpres terus berlanjut.

Bisa pula meminta Mahkamah Agung untuk menafsirkan UU tersebut, tapi hal itu bukan jaminan bahwa sengketa akan terselesaikan.

Pakar hukum Jessica Levinson mengatakan bahwa jika skenario ini terjadi, Mahkamah Agung dapat memutuskan untuk tidak menjadi lembaga yang memutuskan hasil pilpres.

“Saya melihat ada kemungkinan Mahkamah Agung akan memutuskan bahwa hal ini lebih baik diserahkan ke Kongres Amerika Serikat,” katanya.

Bisakah pemilih EC membelot?

Skenario lain yang dapat memicu kekacauan adalah jika ada pemilih EC yang tidak setia pada keputusan partainya.

Hal ini jarang terjadi, tetapi itu terjadi belum lama ini, dari 23.507 suara pemilih EC yang diberikan dalam 58 kali pilpres, tercatat 90 suara yang tak sejalan dengan keputusan partai.

Pada Pilpres 2016 yang lalu, ada 10 pemilih EC enam negara bagian yang melakukan hal itu, 8 membelot dari Hillary Clinton dan 2 membelot dari Donald Trump.

Para pemilih yang tidak setia ini memberikan suara mereka untuk Bernie Sanders, aktivis Faith Spotted Eagle dan John Kasich, Colin Powell dan Ron Paul.

Hanya sekali, pada tahun 1796, seorang pemilih EC memberikan suaranya untuk lawan dari capres yang mereka janjikan.

Sebagian besar negara bagian memiliki UU yang melarang pemilih EC menjadi “tidak setia”, namun hukumannya biasanya hanya berupa denda atau suaranya dibatalkan.

Namun ada 16 negara bagian dengan total 191 suara EC yang tidak memiliki UU seperti itu. Salah satunya adalah Pennsylvania, yang kini menjadi medan perang antara Trump dan Biden.

Risiko terbesar muncul ketika satu “suara nakal” dari pemilih EC dapat menentukan siapa yang menjadi presiden.

https://bit.ly/32nY7Ey

Setiap bangsa mempunyai hukum-hukum yang menuntut penghormatan atau penurutan. Tidak ada pemerintahan tanpa hukum. Dan dapatkah dibayangkan bahwa Pencipta langit dan bumi tidak mempunyai hukum untuk mengatur makhluk-makhluk yang telah diciptakan-Nya? Seandainya menteri-menteri yang terkemuka mengatakan secara terbuka bahwa undang-undang dan hukum yang mengatur negeri mereka dan yang melindungi hak-hak warga negaranya tidak merupakan suatu yang wajib dipatuhi—karena undang-undang itu membatasi kebebasan rakyat, maka tidak perlu harus dituruti; berapa lamakah orang seperti itu dapat diterima berbicara di atas podium? Tetapi apakah lebih parah pelanggaran mengabaikan hukum-hukum negara dan bangsa daripada menginjak-injak perintah-perintah Ilahi yang menjadi dasar semua pemerintahan?

Adalah jauh lebih sesuai bagi bangsa-bangsa untuk menghapuskan un-dang-undangnya, dan mengizinkan rakyatnya berbuat sesuka hatinya dari-pada Penguasa alam semesta menghapuskan hukum-Nya, dan membiarkan dunia ini tanpa standar untuk mempersalahkan yang salah atau membenarkan yang menurut. Tahukah kita akibat dari meniadakan hukum Allah? Sudah dilakukan percobaan. Mengerikan kejadian yang berlaku di Perancis pada waktu ateisme berkuasa. Waktu itu ditunjukkan kepada dunia bahwa menghilangkan batasan-batasan yang telah diberikan Allah berarti menerima pemerintahan yang paling kejam dan paling lalim. Bilamana standar atau ukuran kebenaran dikesampingkan, maka jalan terbuka bagi raja kejahatan untuk mendirikan kekuasaannya di dunia ini. (Kemenangan Akhir, hal. 614, pf, 1,2)

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu. (Yesaya 55:8,9)

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments

Anda rindu Didoakan dan Bertanya?