[AkhirZaman.org] Cobalah menggambarkan dua jenis pemandangan keluarga sebagai perbandingan. Di dalam rumah tangga yang pertama ada tiga istri, semua menikah dengan satu pria yang sama, masing-masing memiliki satu anak atau lebih. Keluarga ini hidup bersama dan suami dan ayah dari ketiga keluarga ini selalu ada untuk memberikan otoritas disiplin dan keamanan bagi seluruh rumah tangga.
Sekarang gambarkan situasi yang kedua. Seorang pria menikah dengan tiga wanita secara berurutan. Ketiga wanita ini telah melahirkan anak-anak dan telah berpisah melalui perceraian demi perceraian. Keluarga ini hidup terpisah, dan anak-anak bertumbuh di bawah trauma ketidakamanan secara emosional dan keuangan tanpa seorang ayah.
Yang manakah dari situasi karangan ini yang anda anggap terburuk? Hukum negeri itu melarang yang satu dan mengakomodasi yang lain. Barangkali jikalau kita dapat melihat kepada seluruh aspek murni dari sudut pandang humanitarian dan sosial, kita akan mengatakan bahwa pemandangan yang kedua adalah lebih buruk daripada yang pertama. Dipandang dari posisi Kristen-Yahudi tradisional, kita barangkali akan mengutuk keluarga pertama karena secara jelas dalam kedudukan yang salah.
Dilihat semata-mata dari perspektif Alkitabiah, apakah benar-benar ada perbedaan moral antara kedua situasi tersebut? Menurut Alkitab, perkawinan adalah sebuah komitmen seumur hidup. Menceraikan pasangan yang tidak bersalah dan kemudian menikahi seseorang yang lain adalah bahkan sangat dikutuk dibandingkan poligami populer yang dipraktekkan di zaman Perjanjian Lama. Keduanya mengecewakan rencana dan tujuan Tuhan. Anak-anak barangkali menderita lebih besar dalam prosedur perceraian dibandingkan dengan dalam rencana poligami, namun keduanya tidak dapat dipertahankan ataupun ditoleransi di bawah terang pencarian wahyu. Apakah beberapa istri dinikahi dalam waktu yang sama, ataupun secara berurutan, kehendak Tuhan telah dilanggar.
Bagaimanakah kita menjelaskan kontradiksi antara praktek Kristen dan prinsip Alkitab pada butir ini? Semakin banyak anggota gereja yang bertindak seolah-olah tidak ada batasan dalam jumlah pernikahan yang mereka dapat lakukan. Kesadaran moral seluruh denominasi telah beralih dan disesuaikan dengan sejumlah besar kejadian-kejadian perceraian di dalam gereja.
Meskipun mayoritas lembaga-lembaga Kristen telah memberikan persetujuan resmi tentang apa yang diajarkan Alkitab tentang perceraian, tampaknya sangat sedikit yang dilakukan dalam mempublikasikan posisi mereka. Pejabat-pejabat dan pendeta-pendeta gereja telah ditekan dalam pernyataan yang amat jelas tentang kedudukan ajaran secara resmi. Alasannya barangkali disebabkan karena sejumlah yang memalukan dari orang-orang yang menjadi pemimpin gereja yang telah bercerai dengan persetujuan yang nyata, setidaknya di dalam jemaat.
Sayangnya, jikalau masalah perceraian tidak ditangani pada saat kemunculannya, tidaklah mungkin menyelesaikan masalah itu selamanya dan berbuat sesuatu tindakan kemudian. Karena banyak kasus melibatkan tuduhan dan tuduhan balasan, seringkali tidak didukung dengan bukti-bukti, para pendeta menjadi segan untuk ditarik ke dalam kekacaubalauan yang meledak. Majelis gereja juga menjauh dari tugas yang tidak menyenangkan untuk bersikap melawan salah satu anggota mereka yang, barangkali, sebelumnya adalah pemimpin yang dihormati di dalam gereja. Sebagai akibatnya, masalah ini dibiarkan kabur. Lebih mudah memberikan keuntungan dari keraguan dan banyak pa-sangan yang bersalah dibiarkan di dalam keadaan persekutuan tanpa syarat bahkan setelah menikah kembali.
Diakui, ada banyak kerumitan yang sulit yang tampaknya menghalangi penyelesaian manusiawi. Setiap kasus pribadi ditandai dengan keadaan-keadaan yang membingungkan. Barangkali tidak ada jawaban yang memuaskan yang akan sepenuhnya adil dan wajar bagi setiap pihak yang terlibat. Namun apapun tindakan yang diambil gereja, itu seharusnya dilakukan dalam keselarasan sepenuhnya dengan nasihat Alkitab tentang perceraian, dan nasihat itu tidak kabur atau bermakna ganda. Yesus menyatakan dalam bahasa yang paling positif bahwa hanya satu keadaan yang dapat membenarkan tindakan perceraian dan perkawinan kembali, dan itu adalah perzinahan. “Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” Matius 19:9.
Perhatikanlah bahwa Kristus menuduhkan perzinahan terhadap seorang suami atau istri yang menceraikan seorang pasangan dan menikahi orang lain, kecuali jikalau pasangan itu tidak setia. Jikalau pasangan telah bersalah karena percabulan (porneia, bhs Yunani, ketidaksucian seksual) menjadi perkecualian bahwa pihak yang tidak bersalah dapat menceraikan pasangannya dan menikah kembali tanpa bersalah.
Pandangan keras Yesus tentang pokok permasalahan perceraian telah menjadi topik perdebatan yang tidak pernah selesai. Bahkan para muridNya sendiri keheranan dengan watak tanpa kompromi sikap Yesus. Mereka berkata, “Murid-murid itu berkata kepada-Nya: “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.” Matius 19:10. Tidak ada makna ganda di dalam pikiran para murid itu tentang apa yang dimaksudkan oleh Yesus. Mereka memahami bahwa Ia melarang semua perceraian dan pernikahan kembali kecuali atas dasar perzinahan. Tanggapan Kristus terhadap keheranan mereka menegaskan bahwa mereka memiliki pengertian yang tepat atas pernyataanNya. Hingga akhir-akhir ini,banyak atas jasa mereka, dapat dikatakan bahwa sebagian besar tubuh gereja Katolik dan Protestan telah mengartikan perkataan Yesus sama seperti para murid yang mendengarkan itu. Sayangnya, dengan tingkat perceraian yang semakin menjamur, doktrin alkitabiah telah tampak semakin menekan dan tidak dapat disetujui oleh sejumlah besar perceraian di dalam gereja. Usaha-usaha telah dilakukan untuk menafsirkan ulang posisi doktrin dari beberapa gereja tentang perihal ini.
Pada titik ini, akan tepatlah mempertimbangkan satu sampling dari nasihat Tulisan Inspirasi yang menuntun gereja dalam kedudukan alkitabiah yang tegas yang telah diambil gereja mula-mula tentang masalah perceraian.
“Seorang perempuan dapat diceraikan secara sah dari suaminya dengan hukum negara namun demikian tidak diceraikan dalam pandangan Tuhan dan menurut hukum yang lebih tinggi. Hanya ada satu dosa, yaitu perzinahan, yang dapat menempatkan suami atau istri dalam posisi di mana mereka dapat bebas dari sumpah perkawinan di mata Tuhan. Meskipun hukum negara mungkin mengizinkan perceraian, namun mereka adalah suami dan istri di dalam terang Alkitab, menurut hukum-hukum Tuhan.” The Adventist Home, hlm. 344.
“Gagasan anda tentang hubungan perkawinan telah salah. Tidak ada selain pelanggaran pelaminan perkawinan yang dapat mematahkan atau menghapuskan sumpah perkawinan … Pria tidak bebas membuat sebuah standar hukum bagi dirinya sendiri, menghindari hukum Tuhan dan standar kebenaran… Tuhan memberikan hanya satu penyebab mengapa seorang istri harus meninggalkan suaminya atau suami meninggalkan istrinya, yaitu perzinahan. Biarlah landasan ini dipertimbangkan dalam doa.” The Adventist Home, hlm. 341, 342.
“Ada banyak perkawinan yang tidak bahagia karena begitu banyak ketergesa-gesaan. Dua orang menyatukan minat mereka di altar perkawinan, tanpa sebelumnya menimbang permasalahan, dan menyediakan waktu untuk perenungan yang waras dan doa yang sungguh-sungguh. Banyak yang digerakkan oleh dorongan emosi. Mereka tidak memiliki pengetahuan yang mendalam dengan sifat-sifat satu sama lain. Mereka tidak menyadari bahwa kebahagiaan dalam kehidupan mereka secara keseluruhan sedang dalam bahaya. Jikalau mereka bertindak salah dalam perkara ini, dan kehidupan rumah tangga mereka terbukti tidak bahagia, itu tidak dapat diambil kembali. Jikalau mereka mendapati bahwa mereka tidak mampu membuat satu sama lain bahagia, mereka harus menanggungnya sebaik mungkin.” Spiritual Gifts, Vol. III, hlm. 120.
“Tidaklah mungkin bagi seseorang (sdr E) untuk dapat dipersekutukan dengan gereja Tuhan, jika dia telah menempatkan dirinya di mana ia tidak dapat ditolong oleh gereja, di mana ia tidak dapat memiliki berkat persekutuan dengan gereja. Ia telah menempatkan dirinya di sana di hadapan terang dan kebenaran. Ia dengan keras kepala telah memilih jalannya sendiri, dan menolak untuk mendengarkan teguran. Ia telah menuruti kecenderungan hatinya yang korup, telah melanggar hukum Tuhan yang kudus, dan telah menghinakan pekerjaan kebenaran masa kini. Jikalau ia bertobat dengan sepenuh hatinya, gereja harus membiarkan kasusnya ini sendiri. Jikalau ia pergi ke surga, itu harus sendiri, tanpa persekutuan dengan gereja. Suatu teguran yang keras dari Tuhan harus selalu tinggal padanya, bahwa standar moralitas tidak boleh direndahkan hingga ke tanah.” Testimonies for the Church, Vol. 1, hlm. 215.
Berdasarkan pernyataan tegas dari Ilham Tuhan dan dari pernyataan-pernyataan Kristus sendiri yang tak terbantahkan tentang perkara ini, maka jelaslah standar yang harus dipegang sepanjang masa bahwa seseorang yang secara sengaja mengabaikan pasangannya yang tidak bersalah (berzinah) demi memasuki suatu hubungan perkawinan dengan orang lain adalah melakukan perzinahan. Tindakan seperti itu tidak boleh mendapat penerimaan oleh geraja sampai kapanpun, sepanjang mereka tetap hidup di dalam hubungan dosa tersebut dengan seseorang yang secara Alkitabiah adalah terlarang baginya.
Ini adalah selaras sempurna dengan tuntutan-tuntutan Alkitab tentang bertobat dan meninggalkan dosa. “Siapa menyembunyikan pelanggarannya tidak akan beruntung, tetapi siapa mengakuinya dan meninggalkannya akan disayangi.” Amsal 28:13.
Selama bertahun-tahun gereja bekerja di dalam prinsip rohani yang sehat dengan suatu kontroversi dan ketidaksesuaian yang minim. Namun setelah perceraian menjadi biasa di dunia, kebiasaan berpisah mulai masuk ke dalam jemaat Tuhan. Mengikuti cara menyerang yang menjadi kesukaannya, Setan masuk sedikit demi sedikit ke dalam keluarga Tuhan dengan kompromi perlahan-lahan yang merusak. Perceraian karena alasan-alasan yang tidak Alkitabiah menjadi semakin sering. Kemudian, pasangan-pasangan yang bersalah dan menikah lagi membawa pasangan baru mereka dan mendaftar untuk menjadi anggota kembali di dalam gereja. Seringkali pendaftar ini adalah orang-orang yang bertalenta yang pernah melayani sebagai pemimpin-pemimpin dan pejabat-pejabat gereja yang dihormati. Simpati dibangkitkan, dan perasaan-perasaan emosional yang mendalam mulai mengusahakan untuk menemukan suatu cara agar orang-orang yang dipecat dari gereja kembali ke dalam gereja tanpa bertobat.
Hampir setiap orang dapat berempati dengan orang-orang yang berbakat dan sopan yang meminta dibaptis, khususnya ketika mereka tampak sangat tulus dan sepenuh hati. Adalah mudah mengambil posisi atas dorongan hati bahwa para pendaftar ini haruslah diterima bahkan diberi tanggung jawab gereja sesuai dengan kemampuan mereka. Namun apakah keputusan seperti itu dibuat atas dasar perasaan-perasaan kita, atau haruskah itu dibuat atas dasar Firman Tuhan? Sekalipun kita ingin mengabaikannya atau menyangkalnya, orang-orang ini telah melakukan perzinahan, dan terus hidup di dalam suatu hubungan yang oleh Alkitab disebut dengan dosa. Jikalau Tuhan mengutuk keadaan seperti ini, dapatkah gereja berani memberikan persetujuannya?
Dengan membaptis dan menerima mereka di dalam tubuh Kristus kita menjamin para calon ini bahwa mereka adalah anak-anak Tuhan dan diterima olehNya. Namun bagaimanakah kita menghibur orang-orang ini dengan jaminan jikalau mereka masih hidup tidak selaras dengan hukum Tuhan, dan bahwa Tuhan tidak setuju dengan mereka? Bukankah itu akan menawarkan penghiburan yang berbahaya yang mungkin akan membuai mereka ke dalam penerimaan yang fatal tentang keamanan yang sesungguhnya tidak ada? Tidakkah kita mengerti bahwa Tuhanlah yang menentukan syarat penerimaan?
Sebagian orang mungkin keberatan terhadap cara ini atas dasar bahwa meninggalkan dosa dalam hal ini akan melibatkan memecah pernikahan yang lain, dan dua kesalahan tidak pernah menjadi satu kebenaran. Jawaban bagi keberatan ini adalah bahwa kita tidak boleh memaksakan kepada mereka apa yang harus dilakukan tentang hubungan mereka. Kita dapat dan harus mengatakan kepada mereka apa persisnya yang dikatakan Alkitab tentang perkara ini. Sesungguhnya orang-orang ini mengetahui kebenaran itu jauh sebelum mereka dengan sengaja melibatkan diri mereka di dalam perkawinan perzinahan ini. Inilah apa yang menjadikan situasi mereka begitu serius. Gereja seharusnya menjelaskan bahwa gereja tidak dapat memberikan penghiburan dan persetujuan kepada mereka lebih dari apa yang diberikan oleh Alkitab.
Tidak ada seorang pendetapun yang berhak membuat suatu perkecualian kepada apa yang diajarkan Firman Tuhan tentang perzinahan. Gereja dan para pendetanya haruslah membiarkan pasangan ini mengetahui bahwa tidak ada wewenang duniawi yang memiliki hak untuk melampaui nasihat Tuhan; oleh karenanya mereka tidak layak secara Alkitabiah untuk masuk ke dalam tubuh Kristus. Ini bukanlah berarti bahwa mereka tidak dapat diselamatkan. Tuhan memiliki wewenang untuk membuat setiap perkecualian yang dikehendakiNya pada hari penghakiman. Dalam kemahatahuanNya, Ia memahami motif dan keadaan-keadaan yang tersembunyi,namun Ia tidak memberikan gerejaNya hak untuk membuat perkecualian, demikian juga syarat-syarat bagi perkecualian tersebut. Garis tegas harus ditarik di mana mereka ditarik ke dalam Alkitab, dan simpati-simpati emosional pribadi tidak boleh dibiarkan melemahkan keputusan itu.
Sekalipun seorang pendeta jemaat ada yang menerima sebuah pasangan ke dalam keanggotaan gereja, sementara mereka tetap hidup di dalam hubungan perzinahan, ini tidak akan mempercepat kesempatan bagi mereka untuk diselamatkan. Ketidaksetujuan Tuhan atas dosa perceraian dan perzinahan haruslah dicatat untuk memberikan kesan kepada orang-orang yang bersalah bahwa hal ini tidaklah sepeleh. Di bawah tuntunan Roh Kudus mereka harus membuat keputusan apa yang harus dilakukan tentang perkawinan mereka yang melanggar hukum tersebut. Tidak seorangpun boleh mendesak mereka untuk memutuskan perkawinan mereka saat ini. Mereka harus memutuskan apa yang harus mereka lakukan demi keselamatan mereka sendiri. Apapun keputusan mereka, gereja kemudian harus mendorong mereka untuk setia, datang dan belajar Firman digereja dan percaya kepada kasih kemurahan Tuhan. Namun untuk menerima mereka kembali ke dalam gereja, dalam tubuh Kristus, berarti menahan Firman Tuhan demi menuruti kehendak kita sebagai gantinya syarat-syarat Tuhan, dan dengan demikian menghina kekudusan Tuhan.
Disadur dari buku: Creeping Compromise (Kompromi Perlahan-lahan), New York: Homeward Publishing, 2002.
By Joe Crews