[AkhirZaman.org] Bukan kali pertama kalau diberitakan jajanan anak sekolah (dan orang dewasa) tidak menyehatkan. Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan) memperingatkan (kembali) hal itu baru-baru ini.
Apa bahaya rata-rata makanan jajanan kita terhadap kesehatan?
Sekitar tahun 80-an, diberitakan sejumlah karyawan sebuah pabrik semen menderita pusing dan mual sehabis makan siang. Kejadian begini bukan baru sekali. Sudah lama keluhan yang sama muncul pada mereka setiap habis makan siang di sebuah warung makan kaki lima.
Keracunan makanankah penyebabnya?
Ternyata bukan. Tim Dinas Kesehatan setempat menyelidiki apa gerangan penyebab keluhan yang diderita sejumlah karyawan yang mengonsumsi menu makan siang di warung yang sama. Diduga kuat dari saus tomatnya.
Setelah dilacak, saus tomat itu terbuat dari ubi, cuka, dan zat warna tekstil (rhodomin-B). Zat warna tekstil inilah yang diperkirakan berpotensi menimbulkan keluhan tersebut.
Berbahayakah?
Tentu tidak sekadar pusing belaka yang ditakutkan, melainkan juga bahaya jangka panjangnya. Zat warna tekstil jenis itu bersifat karsinogenik juga. Artinya, bersifat pemicu munculnya kanker bila dikonsumsi rutin untuk waktu yang lama. Kita menyaksikan yang ada di meja makan warung nasi, penjual bakmi bakso, dan kantin sekolah, kemungkinan besar jenis saus tomat semacam itu. Kalau tidak, kenapa harganya bisa rendah sekali? Kecurigaan harus muncul bila ada saus tomat semurah itu. Bukan cuma dalam saus tomat, zat warna tekstil rhodomin-B juga konon pernah ditemukan dalam lipstik dan pemerah pipi, selain bahan pewarna penganan dan jajanan, termasuk mungkin dalam sirup murah. Dalam sebuah reportase belum lama ini, sebuah stasiun TV swasta menyiarkan tayangan betapa merasa tak bersalahnya seorang pembuat sirup yang dijajakan di sekolah, kurang higienis, memakai air mentah (belum dimasak), dan zat warna buatan yang diduga rhodomin-B juga. Hal itu sudah dikerjakannya bertahun-tahun. Sirop dan limun murah di jajanan sekolah ini yang membuat kita prihatin. Generasi anak sekolah (pinggiran, dari ekonomi kurang mampu) kita tengah memanggul risiko terkena kanker saat dewasa, selain bahaya infeksi perut dadakan.
Gula Bibit
Selain pewarna, jajanan kaki lima yang memang buat kantong ekonomi lemah, dengan harga yang lebih terjangkau, tak mungkin sepenuhnya menggunakan gula asli (gula pasir maupun gula merah), melainkan memilih gula bibit. Kita tahu gula bibit tidak semuanya aman bagi kesehatan. Sebut saja gula sakarin dan aspartam, yang jauh lebih murah dibanding gula asli. Bisa dipastikan jenis gula bibit murah begini, yang sudah dilarang digunakan, masih saja dipakai oleh rata-rata pembuat makanan dan minuman rumahan. Limun, sirop, saus, dan kecap murah, hampir pasti mencampurkan gula bibit, kalau bukan seluruhnya bahan kimiawi berbahaya ini. Pemanis buatan lain tentu ada yang lebih aman, dari daun stevia misalnya. Namun, karena harganya tidak terjangkau untuk membuat kudapan murah, pedagang memilih gula buatan yang lebih murah. Belakangan pemanis buatan aspartam juga gencar dilarang, lantaran efek buruknya, antara lain diduga terhadap otak. Namun, masih banyak jajanan dan panganan, selain industri makanan yang menggunakan aspartam.
Penyedap
Perhatikan bagaimana tukang bakso pinggir jalan menambahkan bumbu penyedap (sodium gluamic). Dahulu, untuk menuangkan bumbu penyedap (disebut mecin, vetsin) memakai sendok khusus terbuat dari kayu dengan penampang seujung kelingking. Maksudnya paling banyak disedok pun takarannya hanya seujung kelingking itu. Tidak demikian halnya sekarang. Rata-rata dituang langsung dari kantong plastik kemasan atau memakai sendok makan. Semakin banyak penyedap dituangkan, semakin gurih rasa barang jualannya. Dari kacamata ekonomi, akan lebih menguntungkan bila menuangkan lebih banyak penyedap karena menambah lezat cita rasa jajanan. Air putih (bukan kaldu) yang dibubuhi penyedap banyak-banyak dengan cara murah dan mudah menjadi sangat menyerupai kuah kaldu yang harus lebih tinggi modalnya. Apa bahaya mengonsumsi penyedap dalam jumlah banyak? Ya, bila dikonsumsi rutin untuk jangka waktu lama, penyedap buruk efeknya terhadap susunan saraf pusat, selain efek alergi bagi yang tidak tahan (post restaurant syndrome), juga pusing-pusing sehabis makan di restoran (akibat penyedap). Bagi mereka yang ingin aman, selain minta tidak pakai penyedap bila memesan makanan restoran, masakan di rumah sendiri sama sekali bebas penyedap buatan. Rasa gurih sehatnya cukup hanya mengandalkan bahan alami, seperti rasa kaldu ayam, sapi, atau ikan belaka, tanpa perlu menambahkan bumbu penyedap buatan.
Formalin
Kita juga mengenal bahan formalin. Selain digunakan buat pengawet mayat agar tidak lekas membusuk, formalin juga masuk ke industri makanan (rumahan). Bukan baru sekarang kita mendengar atau mungkin membaca kalau formalin juga masuk industri pembuatan tahu. Agar awet tidak lekas rusak (besi), industri tahu (murah) juga memanfaatkan formalin, agar tidak sampai merugi. Tahu yang berformalin dijajakan di mana-mana. Padahal, formalin juga tidak menyehatkan. Masalahnya, bagaimana mengontrol begitu banyak dan luasnya industri rumahan tahu di Indonesia? Formalin juga dimanfaatkan untuk proses pembuatan ikan asin. Penjualan ikan asin di suatu daerah, baru-baru ini diberitakan menurun akibat kedapatan pembuatannya memakai formalin agar lebih awet. Selain formalin, kita juga membaca atau mendengar pembuatan bakso mencampurkan bahan kimiawi boraks juga, selain beberapa jenis bahan kimiawi yang sudah terbukti membahayakan kesehatan, masih lolos tak terkontrol. Betapa longgarnya kendali terhadap pemakaian bahan-bahan berbahaya karena memang tidak mudah rentang kendali untuk ribuan industri makanan dan minuman rumahan, termasuk jamu rumahan.
Minyak Goreng Bekas
Disinyalir, kebanyakan jajanan gorengan pinggir jalan juga menggunakan minyak goreng bekas, kalau bukan minyak goreng yang sudah dioplos dengan minyak lain yang lebih murah. Minyak goreng oplosan ini yang diduga membahayakan kesehatan. Kita sudah tahu kalau minyak goreng bekas (jelantah) bersifat karsinogenik juga. Restoran ayam goreng yang tidak memakai lagi minyak goreng habis pakainya, menjualnya ke penjual gorengan pinggir jalan. Kalau itu dikonsumsi rutin untuk jangka waktu lama, tentu sama tidak sehatnya dengan bahan karsinogenik lainnya, termasuk jika kita melakukannya juga di rumah sendiri.
KadnetRebuska