“Akal budi membuat seseorang panjang sabar dan orang itu dipuji karena memaafkan pelanggaran” (Amsal 19:11).
Mitos#1
[AkhirZaman.org] Cara baik untuk menghadapi kemarahan adalah dengan mencurahkan perasaan itu––memekik, berteriak, serta meracau, dan segera melepaskan perasaan Anda secara terbuka.
Fakta
Penelitian baru-baru ini melaporkan bahwa dengan menekan kemarahan dan mencurahkannya secara eksplosif dapat berkaitan dengan tingkat kematian (dengan segala penyebab) yang dua kali lebih tinggi dibanding bila Anda melakukan penanggulangan introspektif.
Tiga tanggapan standar pada kemarahan adalah:
- Kemarahan di dalam, yaitu menekan perasaan marah Anda sama sekali.
- Kemarahan di luar, yaitu langsung mencurahkan kemarahan Anda secara eksplosif.
- Penanggulangan introspeksif, yaitu menunggu sampai kemarahan mereda, baru membahas konflik tersebut dengan orang lain secara rasional, atau membiarkan perkara itu selesai dengan sendirinya.
Penanggulangan introspektif sering menjadi pilihan yang paling baik karena, sebagaimana ditemukan oleh peneliti, hal ini memulihkan kendali atas situasi dan membantu memecahkannya.
Orang yang mampu tetap bersikap tenang––yang mengakui kemarahan, tanpa disertai sikap bermusuhan secara terbuka, baik fisik maupun verbal––lebih cepat pulih dan memiliki kesehatan yang prima. Sementara dengan mencurahkan kemarahan dapat melepaskan ketegangan, hal ini juga dapat menambah perasaan bersalah, yang akan meningkatkan stres.
Mitos #2
Kemarahan merupakan suatu perasaan. Pikiran saya tidak ada kaitannya dengan hal itu.
Fakta
Otak Anda menggunakan zat kimia, rangsangan elektrik, dan triliunan penerima untuk menyebarkan pengaruh pikiran ke setiap sel dari tubuh Anda. Bahan-bahan kimia ini berubah seiring dengan cara kita menanggapi diri kita sendiri dan cara kita berinteraksi dengan setiap orang dan kejadian dalam hidup kita. Setiap tekanan memicu sejumlah besar pertanyaan: Dapatkah saya menanganinya? Apa yang terjadi jika saya tidak dapat menangani? Apa saja pilihan saya?
Peneliti telah menemukan sejumlah kondisi dimana pikiran dapat mengubah atau memperbesar pengaruh yang menstreskan dari pengalaman hidup Anda. Ketika Anda menyalahkan diri atas suatu kejadian buruk, tetapi merasa tidak berdaya untuk mengubahnya, maka perasaan menderita Anda akan timbul. Pandangan hidup yang pesimistik membuat kejadian ini tampak lebih menstreskan dan dengan demikian lebih berpotensi menimbulkan penyakit. Beberapa peneliti menyebutnya fenomena distorsi kognitif––pikiran otomatis negatif yang mengarah pada penderitaan serta konflik. Pikiran ini akan memicu pikiran lainnya. Mudah saja bagi Anda mengakhiri keterperangkapan dalam labirin pesimisme, tetapi dibutuhkan dedikasi yang sangat besar untuk bisa lolos.
Mitos #3
Mengapa saya harus peduli kalau orang lain marah? Perasaan mereka tidak memengaruhi saya.
Fakta
Dipengaruhi oleh suasana hati dan emosi dari orang-orang di sekitar merupakan bagian yang alami dari interaksi antarmanusia. Ini kadang-kadang sangat menguntungkan––ketika perasaan itu positif dan membangun, tetapi menjadi sangat menggelisahkan ketika emosi itu negatif dan merusak. Emosi yang teranggu semisal depresi, menciptakan atmosfer ikatan permusuhan, tekanan, kekacauan, dan kemurungan yang tidak berakhir.
“Ketika kita mula membagikan emosi negatif orang lain,” jelas Ronald M. Podell, M.D., “kita mulai bertindak secara berbeda terhadap orang itu, dan di sinilah tempat kekuatan yang merusak mengumpulkan energi. Ketika dihadapkan dengan kesukarang atau pikiran pesimistis orang lain, ini merupakan reaksi alami untuk merasakan ancaraman pada kesejahteraan Anda sendiri… seorang yang depresi merupakan “radioaktif”… dan menyimpan ancaman bagi Anda. Ancaman tersebut sebaiknya membuat Anda bereaksi defensif, mengabaikan keinginan Anda untuk membantu. Kondisi ini membingungkan, membuat frustasi serta marah, bahkan membuat depresi pasangan Anda, sehingga hubungan emosional, layaknya reaksi nuklir, mulai bermain. Energi ini sangat negatif dan dapat membuat Anda berdua terluka serta lebih marah dibanding sebelumnya.
Vikas Malkani—All You Wanted to Know About Stress & Anger