Saturday, April 20, 2024
Google search engine
HomeKeluargaPelajaran KeluargaMENGAPA HARUS MENIKAH

MENGAPA HARUS MENIKAH

[AkhirZaman.org] Sesungguhnya pernikahan adalah rencana suci Allah untuk memenuhi kebutuhan manusia itu, tetapi Ia tidak pernah memaksakan kehendak-Nya walaupun rencana itu baik. Ia mau agar manusia itulah yang menyadari keperluan ini.

Di taman Eden, dengan jelas Allah sendiri berkata: “TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Kejadian 2:18. Kemudian untuk menyadarkan Adam atas kehampaan dirinya yang sendirian itu, Allah memberikan tugas kepada Adam untuk memberi nama kepada segala ternak, kepada burung diudara dan kepada binatang hutan tapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong “Penolong yang sepadan dengan dia.” Kejadian 2:20.

Atas dasar inilah, lalu Tuhan membuat manusia itu tertidur nyenyak; ketika ia tertidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawah-Nya kepada manusia itu, ”Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.“ (Kejadian 2:22-23). Saat itulah Allah mengukuhkan lembaga pernikahan pertama yang didirikan oleh-Nya sendiri antara Hawa dan Adam, itu bukan prakarsa manusia, tetapi semata-mata rencana Allah untuk dilaksanakan manusia.

MANFAAT PERNIKAHAN

Adam dan Hawa saat merasakan manfaat pernikahan yang didirikan Allah itu sehingga Adam bereaksi dan berkata: “Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” (Kejadian 2:23). Kenyataan Adam dan Hawa saling membutuhkan, sama-sama mengisi dan memerlukan sarana luapan kegembiraan serta kebahagiaan, juga mereka saling menyatakan luapan kasih sayang serta asmara nikah. “Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.” (Kejadian 2:25).

“Setelah Adam diciptakan setiap makhluk yang hidup dibawa ke hadapannya untuk memperoleh nama masing‑masing, ia memperhatikan bahwa kepada masing‑masing mereka telah diberikan teman, tetapi di antara mereka, “tidak didapati seorang penolong yang sepadan baginya.” Di antara segala makhluk yang sudah dijadikan Allah di atas bumi ini, tidak ada satupun yang setara dengan manusia. Dan Tuhan berkata, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Manusia tidaklah dijadikan untuk hidup seorang diri; ia harus menjadi satu makhluk sosial. Tanpa adanya persahabatan segala pemandangan yang indah dan pekerjaan yang menggembirakan di Taman Eden tidak akan memberikan kebahagiaan yang sempurna. Hubungan yang ada antara malaikat sekalipun tidak akan memuaskan keinginannya untuk beroleh simpati dan persahabatan. Tiada makhluk lain yang sama keadaannya untuk dikasihi dan mengasihi”(White, Para nabi dan Bapa I).

Didasarkan oleh pengalamannya, Salomo menyimpulkan perihal pernikahan itu demikian: “Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya! Juga kalau orang tidur berdua, mereka menjadi panas, tetapi bagaimana seorang saja dapat menjadi panas? Dan bilamana seorang dapat dialahkan, dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan.” (Pengkhotbah 4:9-12). Dalam hal ini, kesusahan yang dihadapi bersama akan menjadi kesusahan berdua, dan kesukaan yang dibagi bersama akan menjadi kesukaan ganda! Apapun alasannya, berdua itu tetap hal yang terbaik dari pada menganggap baik untuk sendirian.

ADAKAH MANFAAT HIDUP SENDIRI?

Paulus, secara pribadi memberi ketegasan manfaat hidup sendiri, agar mereka yang memilih untuk tidak menikah dapat sepenuhnya memusatkan perhatian kepada Tuhan, “ Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya.”  (1 Korintus 7:32). Tetapi Paulus dalam hal ini tidak membatasi kebebasan (hak pilih) seseorang untuk menikah atau tidak menikah, dan bukan sedang berbicara tentang sebuah standar Allah sehubungan dengan hal itu.  “Semuanya ini kukatakan untuk kepentingan kamu sendiri, bukan untuk menghalang-halangi kamu dalam kebebasan kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu melakukan apa yang benar dan baik, dan melayani Tuhan tanpa gangguan.” (1 Korintus 7:35). Sebab hal kawin itu bukanlah dosa, “Tetapi jikalau seorang menyangka, bahwa ia tidak berlaku wajar terhadap gadisnya, jika gadisnya itu telah bertambah tua dan ia benar-benar merasa, bahwa mereka harus kawin, baiklah mereka kawin, kalau ia menghendakinya. Hal itu bukan dosa.” (1 Korintus 7:36). Atau mereka yang memilih untuk tidak kawin juga bukanlah dosa, mengingat dunia ini akan berlalu, “Pendeknya orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya. Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu.” (1 Korintus 7:31Paulus sedang menjelaskan bahwa ada satu periode waktu ketika Tuhan sudah akan datang kembali, dimana pernikahan tidak lagi menjadi suatu fokus.

Biarlah mereka yang memilih untuk tidak menikah akan selamanya merasakan kebahagiaan bersama Tuhan, sebagaimana yang mereka telah berkomitmen untuk itu. Demikian juga mereka yang menikah, hendaknya dipersatukan didalam takut akan Tuhan.

STANDAR ILAHI DALAM PERNIKAHAN

Apabila Allah telah memberkati pasangan keluarga Adam dan Hawa di taman Eden, Ia mengharapkan Institusi ini kekal adanya. Dan untuk mempertahankan kerukunan dan kekekalan itu, Allah mau agar setiap keluarga yang didirikan diatas dunia ini hendaknya menghidupkan standard ini:

1.       Cinta sejati

Cinta adalah dasar bagi dua sejoli untuk membangun keluarga. Cinta yang dihidupkan pasangan itu akan senantiasa mengikat suami-istri, haruslah sejati dan abadi, jangan pernah ada peluang untuk orang lain menghianatinya, atau menanamkan benih rusak ke dalamnya. Kasih itu luas artinya, mencakup seluruh aspek hidup, tidak ada bahasa yang dapat mengartikan dengan sempurna arti cinta tersebut, kecuali hanya perilaku hidup bisa menyatakannya melalui pengertiaan mendalam. Kita bisa memahaminya dari firman Tuhan, bagaimana Allah menggunakannya untuk menjaga kelangsungan alam semesta ini.

2.       Pengampunan seumur hidup

Pengampunan itu adalah faktor esensial dalam membina sebuah pernikahan. Jikalau anda mau pernikahan itu tetap tegak seumur hidupmu, saling mengampunilah terhadap suami-istri, antara ayah dan anak, dan terhadap sahabat-sahabat kita, atau orang lain, bahkan untuk musuh sekalipun. Petrus pernah bertanya langsung kepada Yesus perihal standar mengampuni: “Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” (Matius 18:21-22). Standar ini berlaku juga kepada kehidupan berkeluarga, bilamana kita ingin keluarga kita tetap tegak, langgeng dan penuh kebahagiaan.

Setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan, seseorang itu dapat mengampuni kesalahan pasangannya. Biarlah kita masing-masing mengingat bahwa Allah hingga saat ini tetap mengampuni manusia dari dosa dan kesalahan mereka, jika tidak kita sudah segera binasa. Maka, semoga pasangan suami-istri boleh berlaku saling mengampuni dalam membina keluarga tersebut.

3.       Pengorbanan

Arti pengorbanan dalam hal ini diperlukan penaklukkan diri, ego, mendahulukan dan menghormati orang lain, menghargai harkat sahabat, dan mementingkan kepenuhan serta kepuasan bersama. Itulah sebabnya Yesus berkata demikian: “ Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yohanes 15:13).

Sikap terbuka dalam segala hal pada diri suami-istri amat diperluhkan, hingga merupakan kewajiban bersama sampai pada perkara sehari-hari; yaitu, keuangan, kekhawatiran, ketakutan, kecurigaan, pergumulan, atau kesukaan haruslah disampaikan kepada Tuhan melalui doa yang sungguh-sungguh, agar insan itu tetap menerima kekuatan baru untuk mempertahankan bahterah keluarga.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments

Anda rindu Didoakan dan Bertanya?