[AkhirZaman.org] Liang Ronghua berada dalam dilema besar ketika ia harus memutuskan siapa yang akan ia selamatkan, putra sulungnya Li Haiqing (26) atau si bungsu Li Haisong (24). Haiqing dan Haisong adalah kakak beradik yang menderita penyakit uremia–yang bisa mengarah pada gagal ginjal. Keduanya pun sama-sama butuh transplantasi ginjal agar bisa sembuh.
Setelah menjalani tes medis diketahui kalau Ronghua bisa mendonorkan ginjalnya untuk menyelamatkan salah satu putranya. Sementara sang ayah tak bisa jadi pendonor ginjal untuk putranya karena punya tekanan darah tinggi. Di sinilah, Ronghua sangat dilema. Ia menyayangi kedua putranya, tapi ia tetap harus memilih siapa yang bisa diselamatkannya lebih dulu, Haiqing sebagai putra sulung mengatakan, “Kita akan menyelamatkan adik terlebih dulu.” Terjadi diskusi panas di antara pihak keluarga untuk siapa yang harus diselamatkan terlebih dahulu. Setelah dilakukan voting, akhirnya diputuskan kalau si bungsu Haisong yang akan menerima donor ginjal dari sang ibu. “Saya hanya punya satu ginjal dan hanya bisa menyelamatkan satu orang putra saja,” kata Ronghua sebelum menjalani operasi.
Ronghua tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun, ia tak punya pilihan lain lagi. Sementara itu Haiqing yang tengah menempuh kuliah kedokteran terus mencoba membesarkan hati ibu tercintanya, “Jangan menangis. Kita sudah sepakat akan menyelamatkan Haisong terlebih dahulu . . . Haisong sudah lulus kuliah, ia bisa mencari pekerjaan lebih mudah,” jelas Haiqing.
Dalam operasi transplatasi ini dokter menghabiskan waktu delapan jam. Operasi tersebut memakan biaya yang tak sedikit. Sekalipun nanti ada pendonor ginjal untuk Haiqing, belum tentu pihak keluarga bisa membayar semua biayanya.
Sebagaimana Ronghua, begitu pula Sang Oknum yang terbatas telah melakukannya demi “anak-anak bungsu-Nya” yang lain. Ibrani 1:6 mencatat bahwa “Ia membawa pula Anak-Nya yang sulung ke dunia.” Allah telah menjadikan Yesus sebagai “tumbal” demi keselamatan jutaan “anak-anak bungsu-Nya”.
Pernahkah Anda berpikir mengapa Bapa di sorga mengorbankan Yesus demi keselamatan kita? Bukankah mudah saja bagi-Nya untuk menciptakan keturunan Adam dan sebagai gantinya menciptakan manusia baru yang memiliki kesanggupan untuk menurut lebih dari pada Adam? Bisa, namun Bapa hanya punya satu kerinduan, yaitu melihat sorga dipenuhi “anak-anak bungsu-Nya” yang telah hilang.
Mengapa Yesus harus menjadi manusia demi menyelamatkan kita? Karena hanya dengan jalan demikianlah Dia bisa menunjukkan kepada musuh kebenaran bahwa hukum-Nya adalah adil dan benar.
Ada 3 alasan utama mengapa Yesus harus menjadi manusia dan bukan jalan lain yang ditempuh-Nya demi menyelamatkan kita:
1. “ . . . Dia, yang untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah dari pada malaikat-malaikat, yaitu Yesus, kita lihat, yang oleh karena penderitaan maut, dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat, supaya oleh kasih karunia Allah Ia mengalami maut bagi semua manusia.” (Ibrani 2:9).
Ketika rasul Paulus mengatakan bahwa Yesus harus mengalami maut (kematian) demi semua manusia, apakah maksudnya itu? Maut adalah adalah upah dosa (Roma 6:23). Sedangkan dosa sendiri adalah “pelanggaran hukum Allah.” (1 Yoh. 3:4). Bila kita sederhanakan maka maut (kematian) adalah hasil atau hukuman oleh karena pelanggaran terhadap hukum Tuhan. Bilamana Yesus dua ribu tahun silam mati di kayu Salib adalah karena menggantikan tempat kita yang mana seharusnya kitalah yang ada di posisi itu.
Jadi alasan pertama Yesus menjadi manusia adalah untuk mengambil tempat kita sebagai orang terhukum oleh karena dosa yang kita lakukan supaya kita yang seharusnya binasa namun bisa terlepas dari itu.
2. Ibrani 2:14, “Karena anak-anak itu adalah anak-anak dari darah dan daging, maka Ia juga menjadi sama dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka, supaya oleh kematian-Nya Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yang berkuasa atas maut.”
Apa maksudnya bahwa kematian Yesus telah memastikan kebinasaan Iblis yang berkuasa atas maut? Bukankah sekarang pun Iblis tetap bisa menunjukkan kuasanya sehingga ada banyak penderitaan dan kejahatan di dunia?
Mari kita baca yang dituliskan Paulus di dalam 1 Kor. 15:54, 55, “Maut telah ditelan dalam kemenangan. Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?”
Apa yang dimaksudkan oleh Paulus di dalam Ibrani 2:14 dengan jelas dapat kita temukan secara jelas di dalam 1 Kor. 15:54, 55.
Namun pertanyaannya adalah kapan maut (kematian kekal) ini dipastikan kekalahannya dan tidak lagi memiliki sengatnya? Yesus memang mati, namun pada hari ketiga Dia telah mengalami kebangkitan. Dan saat kebangkitan-Nya inilah kuasa kematian (maut) dipastikan mengalami kekalahannya.
Dan di 1 Kor. 15:57 Paulus menegaskan ini ketika Dia mengatakan, “Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.”
Dan inilah yang kemudian membuat Paulus menuliskan di dalam Ibrani 2:15 bahwa “supaya dengan jalan demikian Ia membebaskan mereka yang seumur hidupnya berada dalam perhambaan oleh karena takutnya kepada maut.”
Apa maksudnya kita dibebaskan rasa takut kita terhadap kematian? Bagi sebagian besar manusia, mereka merasakan takut akan kematian yang akan terjadi di depan.
Jadi alasan kedua Yesus menjadi manusia adalah supaya setelah kematian-Nya Dia dapat mengalami kebangkitan untuk dapat memberikan jaminan kepada kita bahwa kuasa maut telah dikalahkan. Dan sebagaimana Dia bangkit dari kematian, begitu pula bila orang yang manaruh imannya kepada Dia yang telah mematahkan sengat maut itu.
3. Dan alasan terakhir adalah “dalam segala hal Ia harus disamakan dengan saudara-saudara-Nya, supaya Ia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia kepada Allah untuk mendamaikan dosa seluruh bangsa.” (Ibr. 2:17).
Setelah kematian dan kebangkitan-Nya Yesus memiliki pekerjaan baru sebagai Imam Besar. Imam Besar adalah supaya kita “mempunyai seorang pengantara pada Bapa” dan Dia adalah “Yesus Kristus, yang adil.” (1 Yoh. 2:1).
Namun apa yang harus dimiliki Yesus supaya dapat menjadi pengantara (Imam Besar)? Ibr. 2:17 di atas mengatakan bahwa “. . . Ia harus disamakan dengan saudara-saudara-Nya, supaya Ia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia kepada Allah . . .”
Kepada siapakah Dia harus menaruh belas kasihan? Ayat 16 memberikan jawabannya kepada kita: “. . . bukan malaikat-malaikat yang Ia kasihani, tetapi keturunan Abraham yang Ia kasihani.” Tetapi siapakah keturunan Abraham? Gal. 3:29, “Dan jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah.”
Imam besar adalah pengantara manusia kepada Allah Bapa. Dan supaya dapat menjadi pengantara yang adil maka Yesus haruslah tahu bagaimana rasanya menjadi manusia sehingga Dia dapat menaruh belas kasihan kepada manusia. Sehingga “oleh karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai.” (Ibr. 2:18).
Jadi alasan ketiga Yesus menjadi manusia adalah supaya Dia dapat menjadi Imam Besar yang berbelas kasihan sehingga dapat menolong kita untuk tidak jatuh saat menghadapi pencobaan karena Dia sendiri mengalaminya “hanya tidak berbuat dosa.” (Ibr. 4:15).
Ada 3 alasan pasti mengapa Bapa harus merelakan Yesus menjadi manusia dan juga mengapa Yesus mau menjadi manusia. Namun apakah dampaknya bagi kita? Apakah “hanya” untuk mengambil tempat kita sebagai orang terhukum, memastikan maut tidak menguasai kita, dan menolong kita menghadapi pencobaan? Kita dapat menemukan jawabannya dari ketika alasan itu juga.
Pertama, menyadari bahwa Dia mati kita supaya dapat menggantikan tempat kita sebagai orang-orang terhukum karena dosa, maka itu akan menolong kita untuk memiliki iman.
Kedua, ketika kita mendapatkan jaminan untuk kemenangan atas kematian maka itu memberikan pengharapan. Kematian adalah masalah di masa depan, namun jika masalah terbesar dan paling ditakuti manusia, yaitu kematian sudah dikalahkan, maka itu memastikan pengharapan kita.
Ketiga, yang membuat Yesus mau menjadi manusia untuk kemudian mati sengsara supaya mengalami kebangkitan adalah “karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh. 3:16). Bahkan sebagai Imam Besar pun Dia dapat dengan setia melakukan tugas-Nya untuk menolong kita menghadapi pencobaan karena Dia “menaruh belas kasihan.” (Ibr. 2:17).
Namun, “demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” (1 Kor. 13:13).
Kita masih di dunia, dan untuk tetap dapat setia kita membutuhkan iman dan pengharapan yang didasarkan atas kasih Tuhan yang tak terbatas bagi kita. Namun ketika tiba di sorga, tidak perlu lagi iman karena Yesus dapat kita lihat muka dengan muka. Kita juga tidak memerlukan pengharapan karena kehidupan kekal sudah pasti dikaruniakan kepada kita. Namun hanya satu yang tetap untuk selamanya, yaitu kasih karena memang “kasih tidak berkesudahan” (1 Kor. 13:8)
Pelajaran mengenai kasih Allah adalah suatu sekolah yang tidak akan pernah lekang oleh waktu. Itu terlalu berharga untuk kita lewatkan.
“Kasih Allah Tak Terbilang, Lidah Tak Dapat Uraikan. Lebih Tinggi Dari Bintang, Lebih Dalam Dari Lautan. Yang Berdosa Diselamatkan Oleh Korban Yesus, Yang Telah Sesat Didamaikan, Bersihlah Dosanya. Oh, Kasih Allah Yang Limpah Tak Dapat Diduga. Kasih Yang Kekal Selamanya Jadi Nyanyian Sorga.”