[AkhirZaman.org] Gereja Roma sekarang ini menampilkan wajah yang menyenangkan kepada dunia, menutupi catatan kekejamannya yang mengerikan dengan berbagai permohonan maaf. Ia telah menutupi dirinya dengan jubah yang menyerupai Kristus, tetapi ia sendiri tidak berubah. Segala prinsip kepausan yang ada pada zaman-zaman dulu ada sekarang ini. Doktrin-doktrin yang dibuat pada zaman yang paling gelap masih tetap dipertahankan. Biarlah jangan seorangpun menipu dirinya sendiri. Kepausan yang akan dihormati oleh Protestan sekarang ini adalah sama dengan yang memerintah dunia pada zaman Pembaharuan, pada waktu mana hamba-hamab Allah berdiri mempertaruhkan nyawa mereka, untuk menelanjangi kejahatan kepausan. Kepausan memiliki keangkuhan dan kesombongan yang berkuasa atas raja-raja dan pangeran-pangeran, dan mengatakan mempunyai hak-hak istimewa dari Allah. Rohnya tidak kurang kejamnya dan kesewenang-wenangannya sekarang dibandingkan dengan waktu ia menindas kebebasan umat manusia, dan membantai orang-orang kudus Yang Mahatinggi.
Kepausan adalah apa yang dinyatakan oleh nubuatan yang menjadi kemurtadan pada akhir zaman. (2 Tes. 2:3,4). Adalah menjadi bagian dari kebijakannya untuk memakai tabiat yang membantu mencapai tujuannya, tetapi di balik penampilannya yang berubah-ubah bagaikan bunglon itu, ia menyembunyikan bisa ular yang tidak berubah-ubah. “Iman janganlah dipelihara bersama para bida’ah atau orang-orang yang dicurigai memiliki aliran sesat.” — Llenfant, “History of the Council of Constance,” Vol. I, p. 516 (ed. 1728), katanya. Haruskah kekuasaan ini, yang catatannya selama seribu tahun telah dituliskan dengan darah orang-orang kudus, diakui sebagai bagian dari gereja Kristus?
Bukan tanpa alasan bahwa pernyataan telah diketengahkan di negara-negara Protestan, yang mengatakan bahwa ajaran Katolik tidak berbeda jauh dari ajaran Protestan, dibandingkan dengan zaman dulu. Telah terjadi suatu perubahan, tetapi perubahan itu tidak terjadi pada kepausan. Memang benar, ajaran Katolik sekarang banyak menyerupai ajaran Protestan yang ada sekarang, oleh karena ajaran Protestan telah mengalami degenerasi yang besar sejak zaman para Pembaharu.
Sementara gereja-gereja Protestan berusaha agar diterima dan disukai dunia, kebaikan hati palsu telah membutakan mata mereka. Mereka melihat bahwa adalah benar mempercayai kebaikan dari segala kejahatan, dan sebagai akibatnya, pada akhirnya mereka mempercayai kejahatahn dari segala kebaikan. Sebagai gantinya berdiri mempertahankan iman yang pada suatu saat diberikan kepada orang-orang kudus, sekarang mereka, seperti sebelumnya, memohon maaf kepada Roma atas pendapat yang tidak baik mengenai dia, dan memohon keampunan atas kefanatikannya.
Sebagian besar orang-orang, bahkan termasuk mereka yang tidak menyukai Romanisme, tidak begitu menyadari bahaya yang timbul dari kekuasaan dan pengaruh kepausan itu. Banyak yang berpendapat bahwa kegelapan intelektual dan moral yang merajalela pada Abad Pertengahan memudahkan penyebaran dogma-dogmanya, ketakhyulannya dan penindasannya. Dan pemikiran dan kecerdasan yang lebih meningkat pada zaman modern, penyebaran pengetahuan secara umum, dan meningkatnya kebebasan dalam hal-hal agama, akan mencegah timbulnya kembali sikap tidak toleran dan kelaliman. Pendapat yang mengatakan keadaan seperti itu akan timbul pada zaman modern ini adalah suatu perkara yang lucu. Benar bahwa terang besar pemikiran dan kecerdasan, moral dan kegamaan sedang bersinar ke atas generasi ini. Dalam halaman-halaman terbuka firman Allah yang suci, terang dari Surga telah dipancarkan ke dunia ini. Tetapi harus diingat, bahwa semakin besar terang yang dikaruniakan, semakin besar kegelapan pada mereka yang memutarbalikkan dan menolak terang itu.
Pelajaran Alkitab yang disertai doa akan menunjukkan kepada Protestan tabiat sejati kepausan, dan akan mengakibatkan mereka tidak menyukainya dan menjauhkan diri daripadanya. Tetapi banyak yang merasa begitu bijak dalam keangkuhan mereka sehingga mereka merasa tidak perlu mencari Allah dalam kerendahan hati, yang dapat menuntun mereka kepada kebenaran. Walaupun mereka berbangga dalam pengetahuan, mereka sebenarnya bodoh dalam Alkitab dan kuasa Allah. Mereka pasti mempunyai cara untuk mendiamkan hati nurani mereka, dan mereka mencari yang kurang rohani dan merendahkan. Apa yang mereka inginkan adalah metode untuk melupakan Allah yang akan melampaui metode mengingat-Nya. Kepausan dapat menyesuaikan diri untuk menghadapi semua ini. Kepausan dipersiapkan bagi dua kelompok umat manusia, yang mencakup hampir seluruh dunia — mereka yang akan diselamatkan oleh jasa-jasa perbuatan mereka sendiri, dan mereka yang akan diselamatkan di dalam dosa-dosanya sendiri. Inilah rahasia kuasanya.
Telah ditunjukkan bahwa suatu masa kegelapan intelektual adalah masa yang menguntungkan demi suksesnya kepausan. Masih akan ditunjukkan bahwa suatu masa terang intelektualpun sama menguntungkan kesuksesannya. Pada zaman yang lampau bilamana orang-orang tanpa firman Allah, dan tanpa pengetahuan kebenaran, mata mereka ditutupi, dan ribuan orang terjerat, tidak dapat melihat jerat yang ditebarkan di kaki mereka. Pada genersai ini banyak orang yang matanya menjadi silau oleh gemerlapnya spekulasi manusia, “yang secara salah dikatakan ilmu pengetahuan.” Mereka tidak mengetahui jaring itu, dan berjalan masuk ke dalamnya seolah-olah matanya ditutupi dengan kain. Allah merencanakan bahwa kuasa intelektual manusia itu dipertahankan sebagai suatu karunia dari Penciptanya, dan harus digunakan untuk melayani kebenaran dan keadilan. Tetapi bilamana kesombongan dan ambisi menguasai, dan manusia meninggikan teori mereka sendiri di atas firman Allah, maka intelektual manusia dapat mendatangkan bahaya yang lebih besar daripada kebodohan. Demikianlah ilmu pengetahuan palsu zaman ini, yang merusakkan kepercayaan kepada Alkitab, akan membuktikan kesuksesannya dalam menyediakan jalan untuk menerima kepausan, dengan bentuk-bentuknya yang menyenangkan, sebagaimana dengan menahan pengetahuan membuka jalan kepada keagunagnnya pada Zaman Kegelapan.
Dalam pergerakan-pergerakan yang sekarang berlangsung di Amerika Serikat untuk memperoleh dukungan pemerintah kepada institusi-institusi dan tradisi gereja, Protestan mengikuti jejak para pengikut kepausan. Bahkan, lebih dari itu, mereka membuka pintu kepada kepausan untuk mendapatkan kembali dalam Protestan Amerika supremasi yang telah hilang di Dunia Lama (Eropa). Dan apa yang paling penting dalam gerakan ini ialah kenyataan bahwa tujuan utama yang terkandung di dalamnya ialah pemaksaan pemeliharaan hari Minggu — suatu kebiasaan yang bermulai dari Roma, dan yang dikatakannya sebagai tanda kekuasaannya. Adalah roh kepausan, — roh menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dunia, meninggikan tradisi manusia di atas perintah-perintah Allah — yang menembusi gereja-gereja Protestan, dan menuntun mereka terus melakukan pekerjaan yang sama, yaitu meninggikan hari Minggu, yang telah dilakukan oleh kepausan sebelum mereka.
Jikalau pembaca mau mengerti agen-agen yang akan digunakan dalam pertarungan yang akan segera datang, maka pembaca harus menelusuri catatan mengenai sarana-sarana yang digunakan Roma untuk tujuan yang sama pada zaman lampau. Jikalau hendak mengetahui bagaimana para pengikut kepausan dan Protestan yang bersatu itu memperlakukan mereka yang menolak dogma-dogma mereka, perhatikanlah roh yang ditunjukkan oleh Roma terhadap hari Sabat dan para pendukungnya.
Titah kerajaan, konsili-konsili umum dan pertauran-peraturan gereja yang didukung oleh kekuasaan sekular atau pemerintah, adalah langkah-langkah oleh mana perayaan-perayaan kekafiran mendapat tempatnya yang terhormat di dunia Kristen. Undang-undang pertama yang memaksakan pemeliharaan hari Minggu adalah undang-undang yang diberlakukan oleh Constantine (AD. 321, Lihat lampiran). Perintah ini mengharuskan penduduk kota beristirahat pada “hari matahari yang dihormati,” tetapi mengizinkan penduduk desa meneruskan pekerjaan bertani mereka. Walaupun perintah itu sebenarnya adalah suatu undang-undang kekafiran, namun telah dipaksakan oleh kaisar setelah ia menerima Kekristenan secara nominal.
Perintah raja itu tidak terbukti sebagai pengganti kekuasaan ialahi, oleh karena itu Eusebius, seorang uskup yang mengupayakan perkenan para pangeran, dan yang menjadi teman khusus dan penyanjung Constantine, mengajukan pernyataan bahwa Kristus telah memindahkan Sabat ke hari Minggu. Tidak satupun kesaksian Alkitab yang membuktikan dukungan kepada doktrin yang baru ini. Eusebius sendiri secara tidak sadar mengakui kepalsuannya, dan menunjuk kepada mereka-mereka yang mengadakan perubahan itu. “Segala sesuatu,” katanya, “apa sajapun yang menjadi kewajiban yang dilakukan pada hari Sabat, semua ini telah kami pindahkan ke hari Tuhan.” — Cox, R., “Sabbath Laws and Sabbath Duties,” p. 538 (ed. 1853). Tetapi argumentasi mengenai hari Minggu ini, meskipun tidak berdasar, memberikan semangat kepada orang-orang untuk menginjak-injak Sabat Tuhan. Semua yang mau dihormati oleh dunia menerima perayaan populer ini.
Sementara kepausan menjadi semakin kokoh, usaha pemujaan hari Minggu diteruskan. Untuk sementara orang-orang bekerja di pertanian bilamana mereka tidak pergi ke gereja, dan hari yang ketujuh masih dianggap sebagai hari Sabat. Tetapi perubahan terus terjadi. Mereka yang menduduki jabatan suci dilarang memberikan pertimbangan dalam setiap pertikaian sipil mengenai hari Minggu. Segera sesudah itu, semua orang, dari berbagai lapisan masyarakat, diperintahkan untuk berhenti dari pekerjaan biasa, dengan ancaman denda bagi orang bebas, dan cambukan bagi para budak. Kemudian orang-orang kaya harus dihukum dengan menyita setengah dari harta mereka; dan akhirnya, bila mereka masih keras kepala mereka harus dijadikan budak. Golongan masyarakat yang lebih rendah harus dibuang atau diusir selama-lamanya.
Mujizat-nujizat juga terjadi. Salah satu keajaiban yang dilaporkan, ialah seorang petani yang hendak membajak ladangnya pada hari Minggu, membersihkan bajaknya dengan besi, besi itu tertancap dalam pada tangannya, dan untuk selama dua tahun ia membawa-bawa besi itu kemanapun ia pergi dengan “rasa sakit dan rasa malu yang luar biasa.” — West, Francis, “Historical and Practical Discourse of the Lord’s Day,” p. 174.
Kemudian paus memberi petunjuk agar imam paroki menasihati para pelanggar hari Minggu, dan mengajak mereka pergi ke gereja untuk mengucapkan sendiri doa-doanya, kalau tidak, mereka akan mendatangkan sendiri malapetaka besar bagi mereka sendiri dan tetangga-tetangganya. Suatu majelis gereja mengetengahkan suatu argumentasi, oleh karena telah digunakan secara meluas, bahkan oleh Protestan sendiri, dan oleh karena orang-orang yang bekerja pada hari Minggu telah disambar petir, maka hari Minggu itu adalah Sabat. “Sudah jelas,” kata para pejabat tinggi gereja, “betapa Allah tidak senang oleh karena mereka melalaikan hari ini.” Kemudian suatu himbauan dibuat agar para imam dan para pendeta, raja-raja dan para pangeran dan semua orang-orang yang setia, agar “mengerahkan seluruh usaha dan perhatiannya untuk mengembalikan hari itu kepada kehormatannya, dan demi kepentingan Kekristenan, lebih sungguh-sungguh memelihara hari itu pada hari-hari yang akan datang.” — Morer, Tho., “Discourse in Six Dialogues on the Name, Notion, and Observation of the Lord’s Day,” p. 271 (ed.1701).
Ketika dekrit majelis-majelis terbukti tidak memadai, penguasa-penguasa sekular diminta untuk mengeluarkan suatu perintah yang akan menimbulkan ketakutan kepada orang banyak, dan memaksa mereka untuk berhenti bekerja pada hari Minggu. Pada suatu sinode (rapat dewan gereja) yang diadakan di Roma, semua keputusan-keputusan yang sebelumnya dikuatkan kembali dengan penekanan yang lebih besar dan lebih sungguh-sungguh. Keputusan-keputusan itu juga dimasukkan dalam undang-undang gereja, dan dikuatkuasakan oleh penguasa-penguasa sipil hampir di seluruh dunia Kristen. — Lihat Heylin, “History of the Sabbath,” Part.II, ch.5,sec.7.
Tetapi, tidak adanya otoritas Alkitab mengenai pemeliharaan hari Minggu telah mendatangkan malu yang tidak sedikit. Orang-orang mempertanyakan kewenangan guru-guru mereka untuk mengesampingkan pernyataan tegas Yehovah, “Tetapi hari yang ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu,” untuk menghormati hari matahari. Untuk memenuhi kekurangan kesaksian Alkitab, maka tindakan-tindakan layak yang lain diperlukan. Seorang penyokong hari Minggu yang bersemangat, yang pada hampir penutupan abad keduabelas mengunjungi gereja-=gereja Inggeris, telah ditentang oleh saksi-saksi kebenaran yang setia. Dan begitu gagalnya usahanya sehingga ia meninggalkan negeri itu untuk sesaat lamanya, dan mencari sesuatu cara dan sarana untuk memperkuat ajaran-ajarannya. Pada waktu ia pulang, kekurangan itu sudah dapat dipenuhi, dan dalam pekerjaan-pekerjaannya sesudah itu ia memperoleh sukses besar. Ia membawa bersamanya suatu gulungan yang dikatakan berasal dari Allah, yang berisi perintah-perintah yang diperlukan bagi pemeliharaan hari Munggu, dengan ancaman-ancaman yang mengerikan untuk menakut-nakuti orang-orang yang tidak mau menurut. Dokumen berharga ini — sebagaimana palsunya lembaga yang didukungnya — dikatakan telah jatuh dari langit dan telah ditemukan di Yerusalem, di atas mezbah St. Simeon di Golgota. Tetapi sebenarnya istana kepausan di Romalah sumber asal benda itu. Penipuan dan pemalsuan untuk memajukan kekuasaan dan kemakmuran gereja pada segala zaman dianggap sah oleh hirarki kepausan.
Gulungan itu melarang orang bekerja mulai dari jam yang kesembilan, pukul tiga pada hari Sabtu sore sampai matahari terbit pada hari Senin, dan dikatakan bahwa otoritasnya dikukuhkan oleh banyak mujizat. Dilaporkan, bahwa orang-orang yang bekerja melebihi jam yang ditentukan akan menderita kelumpuhan. Seorang penggiling yang mencoba menggiling jagungnya, bukan melihat tepung jagung, tetapi darah yang mengalir deras keluar, dan roda gilingan berhenti walaupun air yang memutar roda gilingan itu mengalir dengan derasnya. Seorang wanita menaruh adonan kue ke dalam oven, menemukan adonan itu tetap mentah waktu dikeluarkan, walaupun oven itu sangat panas. Yang lain yang menyediakan adonan kue untuk dibakar pada pukul sembilan, tetapi memutuskan untuk menunda sampai hari Senin, menemukan besoknya bahwa roti itu telah jadi dibakar oleh kuasa ilahi. Seseorang yang membakar roti sesudah pukul sembilan hari Sabtu mendapat, pada waktu memecahkan roti itu besok paginya, darah mengucur dari dalam roti itu. Dengan kemustahilan dan ketakhyulan yang dibuat-buat seperti itu para pendukung hari Minggu berusaha membuat kesuciannya — Lihat Roger de Hoveden, “Annals,” Vol. II, pp. 528-530 (bohn ed.).
Di Skotlandia, sebagaimana juga di Inggeris, penghormatan yang lebih besar kepada hari Minggu diperoleh dengan menggabungkan kepadanya sebagian hari Sabat kuno. Tetapi waktu yang diperlukan untuk menyucikannya berbeda-beda. Suatu surat perintah dari raja Skotlandia mengatakan bahwa “hari Sabtu mulai dari pukul dua belas tengah hari harus dianggap suci,” dan bahwa tak seorangpun mulai dari waktu itu sampai Senin pagi tidak boleh terlibat dalam sesuatu usaha duniawi. — Morer, “Dialogues on the Lord’s Day,” pp. 290-291.
Tetapi walaupun semua usaha dilakukan untuk menetapkan kesucian hari Minggu, para pengikut kepausan sendiri secara umum mengakui otoritas ilahi atas Sabat, dan bagaimana manusia menciptakan suatu lembaga yang menggantikannya. Pada abad ke enam belas konsili kepausan dengan jelas mengatakan, “Biarlah seluruh umat Kristen mengingat bahwa hari yang ketujuh disucikan oleh Allah, dan telah diterima dan dipelihara, bukan oleh orang Yahudi saja, tetapi telah semua yang lain-lain berpura-pura menyembah Allah, walaupun kita orang Kristen telah menyembah Sabat mereka kepada hari Tuhan.” — Idem, pp. 281-282. Mereka yang memalsukan hukum ilahi tidak bodoh mengenai sifat pekerjaan mereka. Dengan sengaja mereka menempatkan diri mereka di atas Allah.
Suatu gambaran yang menonjol mengenai kebijakan Romawi terhadap mereka yang tidak setuju dengannya, diberikan di dalam penganiayaan berdarah dan lama orang-orang Waldenses, yang sebagian dari mereka adalah pemelihara Sabat. Yang lain-lain menderita dengan cara yang sama karena kesetiaan mereka kepada hukum yang keempat. Sejarah gereja-gereja di Etiopia dan Abyssinia secara khusus sangat penting. Di tengah-tengah kesuraman Zaman Kegelapan, orang-orang Kristen di Afrika Tengah telah hilang dari pandangan dan dilupakan oleh dunia, dan untuk beberapa abad lamanya mereka menikmati kebebasan di dalam menjalankan kepercayaan mereka. Tetapi akhirnya Roma mengetahui keberadaan mereka, dan kaisar Abyssinia segera tertipu untuk mengakui paus sebagai wakil Kristus. Konsesi-konsesi lainpun menyusul. Dan surat perintahpun dikeluarkan untuk melarang pemeliharaan hari Sabat dengan ancaman hukuman yang paling berat. — Lihat “Church History of Ethiopia,” pp. 311,312. Tetapi kelaliman kepausan segera menjadi kuk yang sangat menyiksa, sehingga orang-orang Abyssinia memutuskan untuk melepaskannya dari leher mereka. Setelah perjuangan berat, para pengikut Roma diusir dari negara mereka, dan kepercayaan mereka yang mula-mula itu dikembalikan. Gereja-gereja bersukacita atas kebebasan mereka, dan mereka tidak pernah lupa pelajaran yang telah mereka pelajari mengenai penipuan, fanatisisme dan kekuasaan sewenang-wenang Roma. Mereka puas tinggal di daerah terpencil di negara mereka, tidak dikenal oleh dunia Kristen yang lain.
Gereja-gereja Afrika memelihara hari Sabat sebagaimana dipelihara oleh gereja-gereja kepausan sebelum kemurtadannya yang sepenuhnya. Sementara mereka memelihara hari yang ketujuh menurut perintah Allah, mereka berhenti bekerja pada hari Minggu sesuai dengan kebiasaan gereja. Setelah memperoleh kekuasaan tertinggi, Roma menginjak-injak hari Sabat Allah untuk meninggikan miliknya sendiri. Tetapi gereja-gereja di Afrika yang tersembunyi hampir selama 1000 tahun, tidak ikut dalam kemurtadan ini. Pada waktu mereka berada di bawah kekuasaan Roma, mereka dipaksa mengesampingkan hari Sabat yang benar dan meninggikan hari Sabat yang palsu. Tetapi segera setelah mereka memperoleh kebebasannya kembali, mereka menuruti hukum yang keempat itu. — (Lihat Lampiran).
Catatan-catatan masa lalu ini dengan jelas mengungkapkan permusuhan Romawi terhadap hari Sabat yang benar dan pembela-pembelanya, dan sarana-sarana yang digunakannya untuk menghormati lembaga yang diciptakannya itu. Firman Allah mengajarkan bahwa adegan atau tindakan-tindakan seperti ini akan terulang kembali pada waktu Katolik Roma dan Protestan bersatu untuk meninggikan hari Minggu.
Nubuatan Wahyu 13 menyatakan bahwa kuasa yang digambarkan oleh binatang yang bertanduk menyerupai anak domba itu akan menyebabkan “seluruh bumi dan semua penghuninya” menyembah kepausan — di sini dilambangkan oleh binatang yang “serupa dengan macan tutul.” Binatang bertanduk dua juga akan menyuruh “mereka yang diam di bumi, supaya mereka mendirikan patung untuk menghormati binatang;” dan lebih jauh, memerintahkan kepada semua, “kecil atau besar, kaya atau miskin, merdeka atau hamba” untuk menerima “tanda” binatang itu. (Wah. 13:1-16).
Telah ditunjukkan bahwa Amerika Serikat adalah kuasa yang dilambangkan oleh binatang yang bertanduk menyerupai anak domba itu, dan bahwa nubuatan ini akan digenapi bilamana Amerika Serikat memaksakan pemeliharaan hari Minggu, yang dikatakan Roma sebagai pengakuan khusus atas supremasinya. Tetapi dalam penghormatan kepada kepausan, Amerika Serikat tidak sendirian. Pengaruh Roma di negara-negara yang pernah mengakui kekuasaannya, masih tetap ada. Dan nubuatan meramalkan pemulihan kekuasaannya. “Maka tampaklah kepadaku satu dari kepala-kepalanya itu seperti kena luka yang membahayakan hidupnya, tetapi luka yang membahayakan hidupnya itu sembuh. Seluruh dunia heran, lalu mengikut binatang itu.” (Wah. 13:3). Penderitaan luka yang membahayakan itu menunjuk kepada kejatuhan kepausan pada tahun 1798. Sesudah ini, kata nabi itu, “luka yang membahayakan hidupnya itu sembuh. Seluruh dunia heran lalu mengikut binatang itu.” Rasul Paulus mengatakan dengan jelas bahwa sipendurhaka akan terus ada sampai kepada kedatangan Yesus yang kedua kali. (2 Tes. 2:8). Sampai kepada akhir zaman ia akan melakukan penipuannya. Dan pewahyu menyatakan juga mengenai kepausan, “Dan semua orang yang diam di atas bumi akan menyembahnya, yaitu setiap orang yang namanya tidak tertulis sejak dunia dijadikan di dalam kitab kehidupan.” Wah. 13:8). Baik di dalam Dunia Lama maupun Dunia Baru, kepausan akan menerima penghormatan oleh karena penghargaan kepada institusi hari Minggu yang sepenuhnya atas otoritas Gereja Romawi.
Selama lebih setengah abad, para pelajar nubuatan di Amerika Serikat telah menyampaikan kesaksian ini kepada dunia. Dalam peristiwa-peristiwa yang sekarang terjadi tampak suatu kemajuan pesat ke arah penggenapan ramalan ini. Di antara guru-guru Protestan terdapat pernyataan yang sama mengenai otoritas ilahi atas pemeliharaan hari Minggu, dan kekurangan bukti-bukti Alkitab yang sama dengan para pemimpin kepausan yang membuat mujizat-mujizat untuk menggantikan perintah Allah. Pernyataan bahwa penghakiman Allah dijatuhkan ke atas manusia oleh karena pelanggaran sabat hari Minggu, akan diulangi; bahkan sudah mulai dilaksanakan. Dan suatu gerakan untuk memaksakan pemeliharaan hari Minggu dengan cepat memperoleh dasar yang kuat.
Sungguh mengagumkan kecerdasan dan kelicikan Gereja Roma. Ia dapat membaca apa yang akan terjadi. Ia menantikan waktu yang tepat, melihat bahwa gereja-gereja Protestan sedang memberinya penghormatan oleh penerimaan mereka akan sabat palsu, dan bahwa mereka telah bersiap-siap untuk memaksakan pemeliharaan sabat palsu itu dengan cara yang sama seperti yang ia lakukan pada masa silam. Mereka yang menolak terang kebenaran masih akan mencari bantuan dari kekuasaan yang mengaku tidak pernah salah untuk meninggikan suatu institusi yang berasal dari padanya. Seberapa cepatnya ia akan datang membantu Protestan dalam pekerjaannya tidak sulit untuk diterka. Siapa yang lebih mengerti daripada para pemimpin kepausan bagaimana caranya untuk menangani mereka yang tidak patuh kepada gereja?
Gereja Katolik Roma, dengan semua cabang-cabangnya di seluruh dunia membentuk suatu organisasi yang besar dan luas, di bawah pengendalian, dan dibentuk untuk melayani kepentingan, uskup kepausan. Jutaan orang yang menerima komuni atau hosti, yang tersebar di setiap negara di seluruh dunia, diinstruksikan untuk tetap setia kepada paus. Apapun kebangsaannya atau pemerintahannya, mereka harus menganggap bahwa otoritas gereja berada di atas semua yang lain. Walaupun mungkin mereka bersumpah setia kepada negara, namun dibelakang ini terletak janji penurutan kepada Roma, yang membebaskan mereka dari setiap perjanjian yang merugikan kepentingan-kepentingannya.
Sejarah memberikan kesaksian mengenai upaya-uapaya yang licik dan terus menerus untuk menyusup ke dalam masalah-masalah bangsa-bangsa, dan setelah mendapatkan tempat berpijak, lalu melanjutkan cita-citanya, biarpun harus membunuh raja-raja dan orang-orang. Pada tahun 1204, Paus Innocent III mengutip dari Petrus II, raja Arragon, sumpah luar biasa ini, “Aku, Petrus, raja orang Arragon, mengaku dan berjanji untuk selalu setia dan patuh kepada tuanku, Paus Innocent, kepada penerus-penerus Katoliknya, dan kepada Gereja Roma, dan dengan setia memelihara kerajaanku dalam ketaatan, mempertahankan iman Katolik, dan menganiaya orang-orang bida’ah.” — Dowling,J., “History of Romanisme,” b. 5, ch. 6, sec. 55. Hal ini selaras dengan pernyataan mengenai kuasa kepausan Roma, bahwa “adalah sah baginya untuk menurunkan atau menggulingkan para kaisar,” dan bahwa, “ia dapat membebaskan bawahannya atau rakyatnya dari kesetiaannya kepada para penguasa yang tidak benar.” — Mosheim, “Ecclesiastical History,” b.3, cent.11, part 2, ch. 2, sec. 9, note 8 (tr. by Murdock). Lihat Lampiran.
Dan hendaklah diingat, adalah suatu kesombongan Roma yang mengatakan bahwa ia tidak pernah salah. Prinsip-prinsip Gregory VII, dan Innocent III masih tetap menjadi prinsip-prinsip Gereja Katolik Roma. Dan seandainya ia mempunyai kekuasaan, ia akan menjalankan prinsip-prinsip itu sekarang sama seperti pada abad-abad yang lampau. Protestan mengetahui hanya sedikit apa yang mereka lakukan, pada waktu mereka memutuskan untuk menerima bantuan Roma dalam usaha meninggikan hari Minggu. Sementara mereka berusaha untuk mencapai maksud mereka, Roma bertujuan untuk menegakkan kembali kekuasaannya untuk memulihkan kembali supremasinya yang hilang. Sekali prinsip ini diterapkan di Amerika Serikat, bahwa gereja boleh mengendalikan kekuasaan negara, bahwa pemeliharaan agama boleh dipaksakan oleh undang-undang negara, tidak lama maka otoritas gereja dan negara akan mendominasi hati nurani, dan kemenangan Roma di negeri ini sudah dipastikan.
Firman Allah telah memberikan amaran mengenai bahaya yang segera akan terjadi. Jika hal ini tidak diindahkan, maka dunia Protestan akan mengetahui apa tujuan Roma yang sebenarnya pada waktu sudah terlambat untuk melepaskan diri dari jeratnya. Secara diam-diam ia sedang bertumbuh dalam kekuasaan. Doktrin-doktrinnya sedang menggunakan pengaruh-pengaruhnya di ruang-ruang legislatif, di gereja-gereja, dan di dalam hati manusia. Ia sedang mendirikan bangunan-bangunannya yang tinggi dan besar, di mana penganiayaan-penganiayaan yang dahulu ,yang sudah terhenti, akan diulangi. Ia menambah kekuataannya secara diam-diam dan tidak mencurigakan, untuk mencapai tujuannya bilamana waktunya sudah tiba untuk bertindak. Semua yang diinginkannya ialah tempat berpijak yang menguntungkan, dan ini sedang diberikan kepadanya. Kita segera akan melihat dan merasakan apa tujuan unsur-unsur Roma itu. Barangsiapa yang percaya dan menuruti firman Allah, akan mengalami celaan dan penganiayaan.
-KA