“Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mamatahkan semangat” (Amsal 15:13).
[AkhirZaman.org] Sang ayah seharusnya belajar bagaimana membuat ibu gembira. la seharusnya tidak mengizinkan dirinya untuk datang ke rumah dengan wajah suram. Jika la mengalami kesulitan dalam pekerjaannya, ia seharusnya jangan menyusahkan istrinya itu dengan perkara-perkara itu, terkecuali adalah benar-benar penting untuk meminta nasihat dari istrinya. la memllikl kesusahan-kesusahan dan pencobaan-pencobaannya sendiri yang ia harus tanggung, dan ia harus menyingkirkan beban yang tidak perlu dengan lembut.
Sang ibu terlalu sering menghadapi perlakuan yang dingin dari ayah. Jika tidak menyenangkan seperti yang diharapkan, ia menyalahkan istri dan ibu, dan kelihatannya acuh tak acuh terhadap kesusahan dan beban hariannya. Kaum pria yang melakukan ini, secara langsung sedang bekerja berlawanan dengan kepentingan dan kebahagiaan mereka.
lbu menjadi patah semangat. Pengharapan dan keceriaannya hilang darinya. la melakukan pekerjaannya dengan cara mekanik, karena ia tahu sesuatu harus dilakukan, yang segera mengurangi kesehatan fisik dan mentalnya. Anak-anak yang dilahirkannya menderita dengan beragam penyakit, dan Allah memandang para orangtua yang seperti ini bertanggung jawab besar; karena kebiasaan-kebiasaan keliru yang mempercepat penyakit pada anak-anak mereka yang belum lahir, di mana mereka dipaksa menderlta sepanjang hidup mereka.
Ada beberapa yang hidup tetapl berumur pendek dengan beban kelemahan mereka. Sang ibu sangat berhasrat untuk memperhatikan kehidupan anaknya, dan dibebani dengan dukacita pada saat ia dipaksa untuk menutup matanya dalam kematian, dan ia seringkali menganggap Allah sebagai penyebab dari semua penderitaan ini, ketika pada kenyataannya para orangtua itulah yang merupakan para pembunuh anak mereka sendiri.
Sang ayah seharusnya mengingat bahwa perawatan terhadap istrinya sebelum kelahiran anaknya secara jasmani akan mempengaruhi watak ibu selama periode itu, akan memberikan banyak hal untuk dilakukan dengan tabiat yang dikembangkan oleh sang anak setelah kelahirannya. Banyak ayah yang sangat berhasrat mendapatkan kekayaan dengan lebih cepat, sehingga pertimbangan yang lebih tinggi dikorbankan, dan beberapa pria sudah melakukan tindakan kriminal dan lalai terhadap ibu dan anaknya, dan terlalu sering kehidupan keduanya dikorbankan karena kerinduan untuk mengumpulkan kekayaan.
Banyak yang tidak segera menanggung hukuman yang berat ini karena tindakan mereka yang salah, dan sudah tidur karena tindakan mereka. Kondisi sang istri kadang-kadang tidak lebih baik dari seorang budak, dan terkadang ia sama bersalahnya dengan sang suami, dalam menyia-nyiakan kekuatan fisik, untuk mendapatkan kekayaan supaya bisa hidup bergaya. Adalah suatu kejahatan bila pasangan seperti itu melahirkan anak-anak, karena keturunan mereka akan sering berkekurangan dalam hal fisik, mental dan nilai moral, dan akan menanggung kesan yang malang, tertutup, dan mementingkan diri dari orangtua mereka, dan dunia akan terkutuk dengan kelicikan mereka.
(2SM 428, 429)