[AkhirZaman.org] Pertanyaan 2: Karena rasul Paulus dengan jelas mengatakan bahwa orang Kristen bukan “di bawah hukum” tetapi di bawah anugerah (Rm 6:14) Apakah Sabat masih perlu dipelihara? Tapi apakah yang dimaksudkan rasul Paulus?
Jawaban: Mari kita menyelidikinya. Satu hal kita tahu pasti, ketika Paulus mengatakan orang Kristen tidak “di bawah hukum:” tapi “di bawah anugerah”, dia tidak maksudkan agar orang Kristen dapat secara terang-terangan, dengan sadar dan sengaja melanggar hukum Allah. Roma 6:15 dengan tegas mengatakan:
“Jadi bagaimana? Apakah kita akan berbuat dosa, karena kita tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia? Sekali-kali tidak!” Jadi apakah maksud Paulus dengan ungkapan: di bawah hukum Taurat” dan “di bawah kasih karunia”? Apa sikap Paulus terhadap hukum Taurat? Dalam Roma 7:12 dia nyatakan: …”Taurat itu suci, dan hukum Tuhan itu suci, benar dan baik.”
Menurut Paulus tidak ada persoalan dengan hukum Taurat. Hukum itu suci dan baik, tapi apa guna hukum itu? Pertama, hukum itu menyatakan standar moral Allah, itu nyata tidak berat sebelah. Hukum itu menunjukkan prinsip pemerintahan surga yang kekal. Hukum itu menegaskan yang benar dan yang salah. Roma 7:7 menunjukkan: “…Aku tidak akan tahu apa itu dosa kecuali melalui hukum.” Roma 3:20 menambahkan, “… melalui hukum kita menyadari adanya dosa.” Fungsi hukum adalah untuk menyatakan standar prilaku moral/akhlak. Hukum itu juga jelas sekali menyatakan kesalahan bila kita tidak berbuat sesuai dengan standar hukum itu.
Jadi melalui hukum Taurat itu: “…Tersumbat setiap mulut dan seluruh dunia jatuh ke bawah hukum Allah” (Rm 3:19). Memandang kepada kebenaran yang sempurna dari hukum itu, setiap pria, wanita, maupun anak-anak disalahkan. Hukum itu menuntut penurutan yang sempurna, kebenaran yang tak bercacat dan kesetiaan yang teguh kepada prinsip kerajaan Allah. Bagi Paulus berada “di bawah hukum Taurat” berarti berusaha dengan kuasa, dan kekuatan sendiri dan melalui jasa dan pekerjaannya, dia mau menyelamatkan dirinya. Hal itu dengan tegas mustahil menurut Paulus (Rm 3:23-28).
Berada di bawah kasih karunia berarti menerima persediaan yang dibuat oleh Yesus Kristus di kayu salib demi keselamatan kita. Artinya dengan iman, kita menerima keadaan bahwa kita mustahil menyelamatkan diri kita sendiri. Kristus mati bagi kita! Pengorbanan-Nya adalah untuk kita! Melalui kematian-Nya, kita bisa hidup.
Menurut Paulus ada dua sistem: “Sistem hukum Taurat” dan “sistem kasih karunia” Sistem hukum menegakkan standar di mana manusia, dengan kekuatan sendiri, tidak bisa menurutnya. Sistem kasih karunia menyediakan pengampunan untuk dosa masa lalu dan kuasa untuk menurut sekarang melalui Yesus Kristus Tuhan kita. Paulus dengan tegas menolak bahwa kematian Yesus meniadakan kebutuhan untuk penurutan. Dia mengakhiri pembahasannya yang penting tentang kasih karunia dalam Roma pasal 3 dengan mengatakan: Jika demikian, adakah kami membatalkan hukum Taurat karena iman? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami meneguhkannya. (ayat 31).
Rasul itu sudah membuatnya cukup jelas. Dia sudah menjawab pertanyaan kita. Tapi apakah kasih karunia Allah meniadakan hukum Taurat? Pemuka-pemuka agama bisa saja menjawab, “ya.” Tetapi rasul Paulus menandaskan jawabannya dengan kata-kata, “tidak bisa sama sekali!” Apakah kasih karunia Allah meniadakan pentingnya penyucian hari Sabat? Itu berarti sama dengan meniadakan hukum yang mengatakan, “Jangan kamu membunuh, jangan kamu berbuat zina, jangan kamu mencuri. Jangan kamu bersaksi dusta akan sesamamu manusia.” Logika menyatakan bahwa jika seorang berdosa diselamatkan oleh kasih karunia dengan menuruti sembilan dari sepuluh hukum Taurat, sudah tentu ia pun akan mentaati kesepuluh hukum itu sebagai tanda penurutan kepada Tuhannya.
Pertanyaan 3: Apakah rasul Paulus menyatakan bahwa hukum Sepuluh sudah dipalangkan di kayu salib?
Jawaban: Bagian ayat yang menjadi pertanyaan adalah Efesus 2:15. Mari kita membacanya: “Sebab dengan matinya sebagai manusia, Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuan-Nya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera….” Hukum yang khusus atau persoalan yang dimaksudkan adalah “Peraturan.” Sepuluh Perintah Allah adalah kekal, kode etik (peraturan etika) yang tidak dapat diubah. Hukum itu adalah undang-undang dasar pemerintahan-Nya. Hukum itu secara khusus menjelaskan bagaimana sepatutnya hubungan kita dengan Allah dan hubungan kita dengan sesama manusia. Dalam ayat ini, Paulus merasa prihatin bahwa peratuan-peraturan atau urutan-urutan yang diberikan Allah kepada bangsa Israel sebagai satu tanda yang membayangkan kedatangan Mesias bisa menjadi penghalang dalam menyelesaikan misi gereja. Peraturan-peraturan seperti peraturan sunat, upacara pembasuhan mangkuk-mangkuk dan bejana-bejana, hari-hari raya tahunan, sistem korban, secara khusus dijelaskan Allah untuk mempersiapkan pikiran orang Yahudi akan kedatangan Mesias. Karena salah pengertian akan arti simbol-simbol ini, banyak orang Yahudi menganggap bahwa simbol itu sendiri memiliki manfaat. Gantinya memusatkan pikiran kepada arti simbol itu, mereka melihat hanya pelaksanaan upacara secara luar sebagai satu kesalehan. Artinya, peraturan-peraturan ini menjadi penghalang di antara mereka, orang Yahudi, dengan orang kafir yang tidak mau turut ambil bagian dalam upacara-upacara tersebut.
Ketika Yesus datang, sistem upacara korban yang menjadi bayangan kedatangan-Nya sudah digenapi. Orang-orang kafir yang “terpisah dari Kristus,” “tidak termasuk warga bangsa Israel”, “orang-orang asing kepada perjanjian itu”, dibawa “dekat” melalui darah Kristus (Ef 2: 12, 13). “Tembok pemisah” (Ef 2:14,15) atau rangkaian peraturan-peraturan yang diberikan khusus untuk orang Israel dan ditujukkan khusus untuk kedatangan Mesias, sudah dirobohkan (dihancurkan). Kristus sudah datang! Semua acara dan peraturan untuk korban sudah di arahkan ke kayu salib dan di atas kayu salib, orang Yahudi maupun orang kafir mendapat rahmat dan pengampunan. Dalam Kristus semua manusia mendapat pengampunan dosa yang sudah lalu dan kuasa untuk hidup dengan benar sekarang ini.
Jadi, apakah yang ditiadakan di kayu salib? Sudah pasti bukan Sepuluh Perintah yang kekal, abadi, standar moral yang tidak bisa diubah. Tapi adalah hukum-hukum atau perturan-peraturan upacara korban yang diberikan khusus kepada orang Yahudi itulah yang ditiadakan. Semua peraturan-peraturan itu sudah digenapkan dalam diri Yesus Kristus.
Pertanyaan 4: Karena Yesus menyatakan bahwa hukum yang terlebih besar dari semua hukum adalah kasih, apakah kita masih perlu memperhatikan penurutan kepada Sepuluh Hukum, bila kita mengasihi Allah dan mengasihi sesama kita?
Jawaban: Seorang ahli Taurat melontarkan pertanyaan yang berterus terang kepada Yesus. Dengan tujuan menjerat Yesus, dia memberikan pertanyaan yang meragukan, “Guru manakah hukum yang terbesar dalam Taurat? (Mat 22:36). Dengan langsung, yang diilhami surga itu menyatakan: “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan akal budimu, itulah hukum yang terutama dan yang pertama, dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah, kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat 22:37-40).
Yang hampir tidak diperhatikan orang dari jawaban Yesus adalah bahwa Dia mengutip langsung dari Kitab Perjanjian Lama. Ahli Taurat yang bertanya kepada Yesus seharusnya sudah tahu jawaban kepada pertanyaannya. Dia adalah murid, bukan murid sekolah hukum pemerintahan, tetapi murid sekolah hukum Ilahi yang suci. Dia sudah menggunakan waktunya selama sekolah mepelajari Perjanjian Lama. Jadi, Yesus mengutip ringkasan dari Sepuluh Hukum yang tertulis dalam buku Ulangan dan buku Imamat. Ulangan 6:5 dengan ringkas mengatakan: Kasihlah Tuhan Allah, dengan segenap hatimu dengan segenap kekuatanmu.”
Imamat 19:18 menambahkan, “…Kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri (bagian akhir). Sudah tentu Yesus tidak memperkenalkan sesuatu yang baru. Kalau mau mengurangi hukum itu menjadi satu kata, itu adalah kasih. Dalam dua ucapan menjadi, “kasihlah Allah” dan “kasihlah sesamamu manusia.”
Sepuluh hukum hanya merangkum bagaimana respons seseorang yang mengasihi dengan sempurna. Itu sebabnya mengapa Yesus mengakhiri pembicaraan itu dengan menyatakan dalam Matius 22:40, “Semua hukum dan kitab para nabi bergantung kepada kedua hukum ini.” Kasih adalah menggenapi bukan meniadakan hukum (Rm 13:10). Hukum itu menunjukkan bagaimana seorang yang mengasihi memberi respons kasih, dalam situasi kehidupan nyata manusia secara khusus. Kasih bukan sesuatu yang samar-samar, atau sesuatu yang sangat ringan dan mudah menguap, perasaan yang mudah hilang. Kasih berarti penurutan melakukan kehendak Allah yang ditunjukkan di dalam hukum-Nya. Kasih dengan setia tetap menerima prinsip kehidupan yang diberikan Allah seperti dituliskan dalam Sepuluh Hukum. Kasih selalu menuntun seseorang kepada penurutan dan tidak pernah kepada pelanggaran. Itulah alasan yang tepat mengapa Yesus mengajarkan “Jika kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.” Yohanes 14:15.