[AkhirZaman.org] Salah satu sebab utama yang menyebabkan pemisahan jemaat yang benar dari Roma, ialah kebencian Roma kepada hari Sabat Alkitab. Sebagaimana diberitahukan oleh nubuatan, kekuasaan kepausan membuangkan kebenaran itu. Hukum Allah diinjak-injak, sementara tradisi dan adat kebiasaan manusia ditinggikan. Gereja-gereja yang telah di bawah kekuasaan kepausan dari mulanya telah di paksa untuk menghormati hari Minggu sebagai hari kudus. Di tengah-tengah kesalahan dan takhyul yang merajalela itu, banyak yang menjadi bingung, sementara mereka yang memelihara hari Sabat, mereka juga tidak bekerja pada hari Minggu. Hal ini tidak memuaskan para pemimpin kepausan. Mereka dituntut bukan saja menyucikan hari Minggu, tetapi harus menajiskan hari Sabat. Dan mereka akan mengumumkan dan mencaci-maki dengan bahasa yang paling keras, kepada mereka yang berani menghormati hari Sabat. Hanya dengan melarikan diri dari kekuasaan Roma saja seseorang dapat menuruti hukum Allah di dalam kedamaian.
Orang-orang Waldensia adalah di antara orang-orang Eropa yang pertama mendapat terjemahan Kitab Suci. Beratus-ratus tahun sebelum Pembaharuan (Reformasi), mereka memiliki Alkitab dalam naskah bahasa mereka sendiri, mereka memiliki kebenaran yang tidak dipalsukan, dan oleh karena ini mereka menjadi sasaran kebencian dan penganiayaan. Mereka menyatakan Gereja Roma sebagai Babilon murtad yang diwahyukan, dan meskipun nyawa mereka diancam bahaya mereka berdiri teguh menolak kebejatannya. Sementara itu, di bawah tekanan penganiayaan yang berkepanjangan, beberapa orang berkompromi dalam iman mereka, sedikit demi sedikit mereka menyerah dalam prinsip-prinsip mereka yang jelas. Sebagian yang lain tetap berpegang teguh kepada kebenaran. Selama zaman kegelapan dan kemurtadan, terdapatlah orang-orang Waldensia yang menyangkal supremasi Roma, yang menolak penyembahan patung sebagai pemujaan terhadap berhala, dan yang memelihara hari Sabat yang benar. Mereka tetap mempertahankan iman mereka meskipun di bawah topan oposisi yang ganas. Meskipun dilukai oleh tombak Savoyard dan dihanguskan oleh api Romawi, mereka tetap berdiri tabah walaupun menghadapi marabahaya demi firman Allah dan kehormatan-Nya.
Orang-orang Waldensia mendapatkan persembunyian mereka di balik puncak gunung-gunung pertahanan yang tinggi — yang sepanjang zaman menjadi perlindungan bagi orang-orang yang di aniaya dan yang ditindas. Di sini terang kebenaran itu tetap bersinar di tengah-tengah kegelapan Zaman Pertengahan. Di sini, selama seribu tahun, saksi-saksi kebenaran mempertahankan iman yang mula-mula itu.
Allah telah menyediakan bagi umat-Nya satu kaabah kebesaran yang dahsyat, sesuai dengan kebenaran yang sangat besar yang dipercayakan kepada tanggungjawab mereka. Kepada mereka yang di pengasingan yang setia, gunung-gunung itu adalah lambang kebenaran Yehovah yang tak terubahkan. Mereka menunjukkan puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi itu kepada anak-anak mereka dalam kebesarannya yang tak berubah, dan membicarakan kepada mereka mengenai Dia yang pada-Nya tidak ada keadaan berubah-ubah atau bayangan perubahan, yang firman-Nya bertahan tetap seperti bukit-bukit yang kekal. Allah telah meletakkan gunung-gunung dan memperlengkapinya dengan kekuatan. Tak ada tangan yang mampu selain tangan Penguasa Tak Terbatas itu, yang dapat memindahkannya dari tempatnya. Demikianlah juga Ia telah menetapkan hukum-Nya, yang menjadi dasar pemerintahan-Nya di surga maupun di dunia ini. Tangan manusia mungkin bisa menangkap sesamanya manusia dan membinasakan hidup mereka; tetapi Tangan itu dapat mencabut gunung-gunung itu dari dasarnya dan melemparkannya kedalam lautan, sebagimana itu dapat mengubah satu perintah hukum Yehovah, atau menghapuskan salah satu janji-janji-Nya kepada mereka yang melakukan kehendak-Nya. Dalam kesetiaan mereka kepada hukum-Nya, hamba-hamba Allah haruslah seperti teguhnya bukit-bukit yang tidak berubah.
Gunung-gunung yang mengelilingi lembah di bawahnya telah menjadi saksi kepada kuasa penciptaan Allah dan kepastian perlindungan serta pemeliharaan-Nya yang tidak pernah gagal. Para musafir itu belajar mencintai lambang diam kehadiran Yehovah. Mereka tidak mengeluh atas kesulitan yang menimpa mereka. Mereka tidak pernah merasa kesepian di antara gunung-gunung terpencil itu. Mereka berterimakasih kepada Allah oleh karena Dia telah menyediakan bagi mereka suatu perlindungan dari angkara murka dan kekejaman manusia. Mereka bersukacita dalam kebebasan mereka untuk berbakti kepada-Nya. Sering, jika dikejar oleh musuh, kekuatan bukit-bukit itu terbukti menjadi pertahanan yang pasti. Dari tebing-tebing yang sangat tinggi mereka menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Allah, dan pasukan tentera Roma tidak dapat mendiamkan nyanyian ucapan syukur mereka itu.
Kesalehan para pengikut Kristus adalah murni, sederhana dan bersemangat. Mereka menilai prinsip-prinsip kebenaran melebihi nilai rumah, tanah, teman, kaum keluarga, bahkan hidup itu sendiri. Mereka berusaha dengan sungguh-sungguh membuat prinsip ini berkesan dan tertanam di dalam hati para pemuda. Sejak masa kanak-kanak para pemuda telah diberi pelajaran Alkitab dan diajar untuk menganggap suci tuntutan hukum Allah. Alkitab jarang ada pada waktu itu; oleh sebab itu firman yang berharga itu harus ditaruh di dalam ingatan. Banyak dari antara mereka mampu menghafalkan bagian-bagian dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Pemikiran tentang Allah dihubungkan dengan pemandangan alam yang indah dan agung, dan dengan berkat-berkat sederhana kehidupan sehari-hari. Anak-anak kecil belajar memandang Allah dengan rasa syukur sebagai pemberi setiap karunia dan setiap penghiburan.
Orang-orang tua yang lemah lembut dan penuh kasih sayang, mengasihi anak-anak mereka dengan bijaksana untuk membiasakan diri merasa puas diri. Di hadapan mereka terbentang kehidupan yang penuh dengan cobaan dan kesukaran, dan barangkali mati syahid. Mereka telah dididik sejak kecil menanggung kesukaran, tunduk kepada penguasa, namun berpikir dan bertindak bagi diri mereka sendiri. Sejak dini mereka telah diajar untuk memikul tanggungjawab, menjaga pembicaraan dan mengerti kebijaksanaan berdiam diri. Satu perkataan yang ceroboh yang terdengar oleh musuh dapat membahayakan bukan saja nyawa orang yang berbicara itu, tetapi juga nyawa ratusan saudara-saudaranya. Karena sebagaimana serigala mencari mangsanya, demikianlah musuh-musuh kebenaran mengejar mereka yang berani menuntut kebebasan iman keagamaannya.
Orang-orang Waldensia telah mengorbankan harta duniawi demi kebenaran, dan dengan kesabaran yang gigih mereka bekerja untuk mendapatkan makanan mereka. Setiap jengkal tanah yang bisa dikerjakan di antara gunung-gunung dikerjakan dengan cermat. Lembah-lembah dan kaki-kaki bukit yang kurang subur telah dibuat memberikan hasil yang bertambah. Berhemat dan penyangkalan diri menjadi bagian dari pendidikan yang diberikan kepada anak-anak sebagai warisan dari leluhur. Kepada mereka diajarkan bahwa Allah merancang kehidupan untuk berdisiplin, dan kebutuhan mereka akan terpenuhi hanya oleh usaha pribadi, oleh pemikiran dan perencanaan yang hati-hati, perhatian dan iman. Proses itu memang menuntut kerja keras dan melelahkan, tetapi baik dan menyehatkan, sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh manusia yang telah jatuh dalam dosa, sebagai sebuah sekolah yang disediakan Allah untuk pelatihan dan pengembangannya. Sementara pemuda itu ditempa tahan uji menghadapi kerja keras dan kesulitan, budaya intelek juga tidak dilalaikan. Mereka diajar bahwa semua tenaga dan kekuatan mereka adalah milik Allah, dan bahwa semua harus ditingkatkan dan dikembangkan untuk pelayanan-Nya.
Jemaat-jemaat Vandois, di dalam kemurniannya dan kesederhanaannya, menyerupai jemaat-jemaat pada zaman rasul-rasul. Mereka menolak supremasi kepausan dan pejabat-pejabat tingginya, dan mereka membuat Alkitab sebagai satu-satunya kekuasaan tertinggi yang tidak dapat salah. Pendeta-pendeta mereka berbeda dengan imam-imam Roma yang megah bagaikan raja. Mereka mengikuti teladan Tuhannya, yang “datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani.” Mereka memberi makan kawanan domba Allah, menuntun mereka ke padang rumput yang hijau dan mata air hidup firman-Nya yang kudus. Berbeda jauh dari keindahan dan kebesaran manusia yang angkuh, orang-orang ini berkumpul bukan di dalam bangunan gereja yang megah atau katedral yang agung, tetapi di bawah bayang-bayang bukit-bukit di lembah Alpine, atau pada waktu bahaya, di tempat-tempat perlindungan di celah-celah bukit-bukit batu, untuk mendengarkan firman kebenaran dari hamba-hamba Kristus. Para pendeta itu bukan hanya mengkhotbahkan kabar Injil itu, tetapi mereka juga mengunjungi orang-orang sakit, mengajar dan menguji pengetahuan agama pada anak-anak, menegur kesalahan, berusaha menyelesaikan perselisihan dan memajukan keharmonisan dan rasa persaudaraan. Pada waktu damai, mereka dibelanjai dengan pemberian sukarela orang-orang. Tetapi seperti Rasul Paulus, si pembuat kemah itu, masing-masing belajar cara-cara berdagang atau profesi lain oleh mana, bila perlu, mereka menghidupi dirinya.