[AkhirZaman.org] Masa depan demokrasi menghadapi tantangan. Kondisi ini terjadi karena generasi milenial kurang puas dengan sistem politik yang dianggap paling sempurna tersebut akibat tingginya ketidakadilan dan ketidakstabilan politik, sosial, dan ekonomi di berbagai negara di dunia.
Secara global, status demokrasi mengalami a state of malaise karena 57,5% masyarakat dunia sudah kecewa dengan demokrasi. Angka ini mengalami peningkatan 10% bila dibandingkan dengan pertengahan 1990-an. Tren peningkatan ketidakpuasan terhadap demokrasi menyebar di seluruh dunia, baik di Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa, Afrika, Timur Tengah maupun kekecewaan pemuda kelahiran 1981–1996 yang terbilang sangat mendalam tidak pernah diungkapkan anak-anak muda terdahulu, baik generasi X (1965–1981), baby boomer (1994–1964) ataupun interwar (1918–1943).
“Di seluruh dunia, generasi milenial kurang puas dengan kinerja demokrasi dan kurang merasakan manfaatnya,” ungkap University of Cambridge yang melakukan penelitian tersebut di 160 negara dengan 4,8 juta responden seperti dikutip Reuters.
Kekecewaan paling buruk terjadi di Amerika Serikat (AS), Brasil, Meksiko, Afrika Selatan, Prancis, Inggris, dan Australia. Alasan utama di balik kekecewaan mereka ialah ketidaksetaraan pendapatan dan kekayaan. University of Cambridge menyatakan jumlah generasi milenial di AS mencapai seperempat dari total penduduk, tetapi hanya memegang 3% dari total kekayaan. Padahal baby boomers pada zaman dulu menguasai 21% dari total kekayaan.
Universitas tersebut pun menyarankan agar para pemimpin dunia meningkatkan kinerja sistem demokrasi dan memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Sebab tingkat moral generasi muda di dalam kehidupan demokrasi juga rendah. Hampir setiap pemuda berusia 18–34 tahun di berbagai negara memandang lawan politik sebagai musuh tak bermoral. Penelitian ini merupakan penelitian sistem demokrasi dengan data terbanyak di dunia. University of Cambridge juga berkolaborasi dengan Human Survey Project untuk pengadaan data kepuasan masyarakat terhadap sistem demokrasi yang dikumpulkan sejak 1973 hingga 2020. Meski banyak, data yang dikumpulkan masih sangat terbatas.
“Saya kira generasi milenial menjadi generasi pertama yang merasa tidak puas dan kecewa dengan implementasi demokrasi,” ujar Dr Roberto Foa dari Fakultas Politik dan Hubungan Internasional University of Cambridge. “Sebaliknya, mayoritas generasi baby boomers yang kini berusia 60 dan 70 tahunan merasa puas saat masih muda dulu,” imbuhnya.
Di Inggris pada 1973 misalnya sebanyak 54% responden dari generasi interwar berusia 30 tahunan mengaku puas dengan sistem demokrasi di Inggris. Jumlahnya terus meningkat. Memasuki usia 60 tahunan, sebanyak 57% dari mereka mengaku merasa puas. Saat itu tingkat kepuasan generasi x juga tinggi, yakni mencapai 62%.
Secara global, generasi milenial gelombang pertama yang masuk perguruan tinggi masih memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi daripada pendahulunya. Tapi tingkat kepuasan itu menurun secara drastis menyusul banyaknya tantangan yang menguji demokrasi, mulai dari krisis keuangan, perang di timur tengah hingga wabah penyakit menular.
Adapun di AS, hampir 63% generasi milenial mengaku puas dengan sistem demokrasi di negaranya saat mereka berusia 20 tahunan. Namun saat memasuki usia 30 tahunan atau pasca-2010, jumlahnya menurun menjadi 50%. Padahal saat itu sebanyak 74% generasi baby boomers mengaku puas dan 68% di antaranya tetap puas sampai sekarang.
Generasi milenial dan generasi X terus mengalami penurunan kepuasan terhadap sistem demokrasi. Jika ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi terus berlanjut, hal itu akan memicu revolusi baru. Kenyataannya kebijakan di berbagai negara kini mulai berubah, mulai dari tingginya nasionalisme hingga perombakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Negara yang mampu membangun ekonomi secara merata cenderung stabil. Islandia dan Austria misalnya. Generasi milenial, generasi X, baby boomers, dan interwar di kedua negara itu hampir memiliki kepuasan yang sama tinggi. Sebaliknya di negara besar dengan jumlah penduduk banyak dan ketimpangan yang luas, perbedaannya kentara dan terus meningkat di setiap tahun.
“Tumpukan hutang yang menggunung, rendahnya peluang memiliki rumah sendiri, sulitnya memulai rumah tangga, dan ketergantungan terhadap warisan bila dibandingkan dengan kerja keras dan bakat untuk meraih kesuksesan menyebabkan generasi muda saat ini merasa hampa dengan sistem demokrasi. Mereka merasa sistem ini tidak optimal,” kata Foa.
Adapun di negara lain di luar Eropa dan AS, sistem demokrasi juga kurang dirasakan manfaatnya oleh generasi muda. Di Amerika Latin dan Afrika, penelitian ini menunjukkan generasi muda di dua kawasan itu tampak jenuh dan lesu setelah 25 tahun berada di bawah sistem demokrasi mengingat penerapannya tidak sesuai dengan kampanye.
“Di seluruh dunia kami melihat adanya jurang pemisah antara generasi muda dan generasi sebelumnya dalam memandang fungsi demokrasi,” kata Foa. “Pemutusan hubungan demokrasi ini bukan berasal dari luar, tapi justru dari dalam. Para pemegang kebijakan gagal membuahkan hasil yang berarti bagi generasi muda sehingga tercipta ketidaksetaraan,” imbuhnya.
Kelompok yang diyakini sukses menerapkan sistem demokrasi dalam lima tahun terakhir ialah kelompok populis dan sayap kiri. Hal itu banyak terjadi di Eropa dan dibuktikan dengan naiknya Syriza di Yunani, Podemos di Spanyol, Viktor Orban di Hungaria, dan Partai Law and Justice di Polandia. Generasi muda di bawah pimpinan kelompok populis mengaku puas.
“Populis kini lebih populer daripada moderat,” kata Daniella Wenger, salah satu peneliti dari University of Cambridge. “Di negara Barat, generasi milenial kini mengaku dapat menilai baik atau buruknya seorang pemimpin dari paham politiknya. Tantangannya ialah para pemimpin harus dapat mengambil aksi nyata sehingga demokrasi terjaga,” imbuhnya.
Jikalau kiranya masing-masing orang insaf bahwa dialah yang menentukan nasibnya sendiri! Kesenanganmu dalam hidup di dunia ini dan pada kehidupan yang kekal nanti ada dalam tanganmu. Jikalau engkau suka engkau boleh mempunyai teman-teman yang oleh pengaruhnya akan merendahkan pikiran, perkataan dan kelakuanmu. Engkau boleh membiarkan nafsu makan dan hawa nafsumu merajalela, menghinakan pemerintah, dan memakai perkataan-perkataan yang kasar-kasar, serta merendahkan derajatmu serendah-rendahnya.
Pengaruhmu boleh jadi begitu rupa sampai mencemarkan orang-orang lain, dan engkau bisa menjadi sebab akan kejatuhan mereka itu, yang sebenarnya engkau boleh bawa kepada Kristus. Engkau bisa menghantar orang-orang menjauhkan diri dari Kristus, dari kebenaran, dari kesucian dan dari surga.
Pada waktu penghukuman orang-orang yang terhilang bisa menunjuk kepadamu serta berkata: “Kalau tidak oleh pengaruhnya maka saya pasti tidak akan tergelincuh dan mempermainkan agama Allah; dia telah mempunyai terang, dan dia mengetahui jalan ke surga. Saya tidak tahu apa-apa, dan dengan mata yang tertutup saya sudah masuk dalam jurang kebinasaan.
Apakah kita bisa jawab terhadap dakwaan begini? Betapa penting yang masing-masing orang akan memikirkan, ke mana dia akan pimpin jiwa-jiwa. Kita bisa melihat dunia yang kekal, dan sebab itu harus kita rajin menghitung nilai pengaruh kita. Janganlah kita melupakan akan perkara-perkara yang kekal itu dari perhitungan kita, melainkan biarlah kita biasakan akan bertanya dalam diri kita masing-masing, apakah jalan ini berkenan kepada Allah? Bagaimanakah pengaruh perbuatan saya terhadap orang-orang, yang mempunyai lebih sedikit terang dan pengetahuan tentang kebenaran? (Akom, hal.15 pf.1,2)
“Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2 Timotius 3:15,16)