[AkhirZaman.org] Mahatma Gandhi berkata, “Jika semua orang Kristen bersikap seperti Kristus, seluruh dunia akan menjadi Kristen.” Sayang, banyak orang yang mengaku Kristen dan menyandang nama-nama yang diambil dari Alkitab, bukan pengikut Kristus yang sejati. Mereka tidak melakukan perintah-perintah Tuhan. Firman-Nya: “Jangan membunuh,” tapi tanpa tedeng aling-aling mereka siap membinasakan siapapun yang menghalangi jalan untuk mendapatkan apa yang mereka mau. Perintah-Nya: “Jangan mencuri,” mereka bilang, “Korupsi itu biasa asal jangan ketahuan. Semuanya itu untuk kebaikan bersama (maksudnya dinikmati secara kolektif).” Sabda-Nya: “Jangan berzinah,” tapi praktik kawin cerai di kalangan orang Kristen semakin marak. Sungguh, mereka seperti lalang yang tumbuh bersama dengan gandum! Pada waktu menuai, barulah lalang itu dikumpulkan untuk dibakar (Matius 13:24-30).
Namun sebelum menghakimi orang lain, lebih baik kita bertanya dengan jujur kepada diri kita sendiri: “Apakah aku sudah mengajarkan mereka melakukan segala perintah Tuhan?”
Mengajarkan artinya memberitahukan (transfer of knowledge) berulang-ulang, baik dengan penjelasan lisan dan tertulis maupun dengan contoh-contoh (demonstrasi keteladanan) yang dapat ditangkap oleh pancaindra mereka. Sama seperti ketika kita mengajarkan anak berbahasa Inggris, kita pun tidak hanya mengenalkan mereka konsep bahasa Inggris, tapi terus menerus melatih mereka menggunakan bahasa Inggris yang baik dan benar dalam konteks kehidupan sehari-hari dan kita sendiri menjadi ‘role model’ yang baik. Maka rumah, gereja dan sekolah adalah tempat di mana kita belajar dan mengajarkan nilai-nilai kristiani. Rumah, gereja dan sekolah menjadi tempat di mana kehormatan kita sebagai orang Kristen diuji dan dijunjung tinggi, khususnya dalam tiga nilai utama hidup kita yaitu: taat, tanggung jawab dan peduli.
Taat
“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di Surga.” (Matius 7:21). Kehendak-Nya bagi kita adalah supaya kita saling mengasihi, seperti Yesus telah mengasihi kita (Yohanes 15:12).
Kasih yang tulus, sabar, murah hati dan tidak cemburu. Kasih yang tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi karena kebenaran (1 Korintus 13: 4-6).
Yesus Kristus mati disalibkan bukan akibat Pontius Pilatus kalah oleh desakan orang Yahudi, melainkan karena kasih-Nya kepada kita. Tidak ada seorang pun dapat mengambil nyawa-Nya! Yesus memberikan nyawa-Nya menurut kehendak-Nya sendiri karena Dia menaati kehendak Bapa (Yohanes 10:18).
Ketaatan kepada Bapa membangkitkan kekuatan dan keberanian untuk mengatakan dan melakukan yang benar. Sering kita merasa lemah dan takut untuk mengatakan apalagi melakukan yang benar, karena ancaman atau intimidasi orang dengan kekayaan dan jabatan tinggi. Namun Yesus telah berpesan: “Barang siapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku. Barang siapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barang siapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” (Matius 10:38-39).
Setelah mengetahui anaknya tidak naik kelas, ada orangtua yang menggunakan koneksinya untuk memberi tekanan kepada pihak sekolah dan dewan guru agar mengubah keputusan itu. Syukurlah sekolah tetap berpegang pada hasil keputusan rapat pleno dewan guru yang memang dibuat tidak sembarangan, melainkan berdasarkan peraturan yang berlaku dan pertimbangan hati nurani. Sekolah Kristen memang seharusnya tidak goyah, baik oleh ancaman maupun bujuk rayuan.
Sungguh karya Tuhan yang indah ketika kita melihat orangtua Kristen, sekalipun kecewa akan kegagalan studi anaknya, memilih untuk tidak menyalahkan siapapun tapi memohon hikmat Tuhan untuk terus membenahi diri dan memercayakan anaknya tetap bersekolah di sekolah Kristen. Dengan melihat kasih, iman dan harapan positif orangtua, anak itu pun berubah sehingga berhasil lulus dengan nilai-nilai yang baik. Inilah sebuah kesaksian hidup yang mengagungkan nama-Nya!
Demikian juga ketika di sekolah ada anak yang mengalami bullying (pemaksaan kehendak untuk melakukan sesuatu, dari pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah), sekolah menangani dengan sangat serius melalui pendekatan dan kerjasama berbagai pihak: dewan guru, wali kelas, guru Bimbingan Konseling, orangtua, psikolog dan pendeta sekolah. Korban bullying mendapat perlindungan sekolah sebagaimana mestinya, sementara pelaku bullying dibina dan harus membuat perjanjian–bila masih melakukan hal jahat yang mengganggu orang lain, ia harus menerima sanksi keras yaitu dengan berat hati dikeluarkan dari sekolah dan dikembalikan kepada pembinaan orangtua di rumah. Dalam bentuk apapun, sudah sepatutnya tidak ada korban bullying yang justru terpaksa pindah ke tempat lain karena takut kepada pelaku bullying. Hanya kepada Tuhanlah kita harus takut dan taat, bukan kepada manusia yang tidak berkuasa menambah atau mengurangi umur hidup kita barang sedetik pun.
“Kita tahu sekarang, Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28).
Seorang teman memberi kesaksian bahwa dalam transaksi dagang, pembeli sering meminta kwitansi kosong untuk diisi dengan harga sesuka mereka. Sebagai anak Tuhan, teman saya ini tidak bersedia melakukan hal tersebut. Walau harga yang diberikannya paling murah dan kualitas barang lebih bagus, banyak pembeli lari ke tempat lain yang mau bersekongkol dengan mereka membuat kuintasi aspal (asli tapi palsu). Sampai beberapa tahun kemudian, dia terkejut mendapat serangkaian order transaksi yang sangat besar jumlahnya dan ternyata pembelinya adalah orang yang pernah marah besar kepadanya karena tidak mau membuat kuitansi fiktif. Orang tersebut sudah dipromosikan menjadi kepala bagian dan tahu betul praktik kotor yang biasa terjadi, sehingga memberi instruksi kepada bawahannya untuk hanya membeli di tempat teman saya tersebut, karena di sanalah penjualnya berlaku jujur.
Tanggung jawab
“Kekuatan yang besar menuntut tanggung jawab yang besar.” Memang “setiap orang yang kepadanya banyak diberi, daripadanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, daripadanya akan lebih banyak lagi dituntut” (Lukas 12: 48b).
Seorang teman, saat belum dikaruniai anak setelah belasan tahun menikah, sering mengeluh kesepian dan cemburu kepada mereka yang punya anak. Tetapi ketika Tuhan telah memberikan anak-anak kepadanya, dia mengakui betapa susah mengurus anak dan betapa berat biaya yang harus ditanggung untuk membesarkan mereka. Dia baru sadar bahwa anak bukanlah benda mati yang bisa diatur sesuka hati, juga bukanlah sosok yang selalu manis seperti malaikat–setiap anak punya karakter, kemauan dan kebutuhan sendiri yang kerap kali bertentangan dengan harapan orangtua, dan kerutan di dahinya bertambah saat dia mengingat pertambahan gaji yang merangkak lambat berbanding terbalik dengan kenaikan harga barang yang melaju secepat kilat!
Kamus Oxford-AS Hornby mendefinisikan tanggung jawab sebagai kewajiban untuk mengurus seseorang atau sesuatu (responsibility is a duty to deal with or take care of somebody or something), dan bertanggung jawab menunjukkan bahwa Anda bisa dipercaya (responsibly means in a sensible way that shows you can be trusted). Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan di Indonesia, telah lama mengajarkan prinsip tanggung jawab: Ing Ngarsa Sung Tulada (Di Depan Memberi Teladan), Ing Madya Mangun Karsa (Di tengah Membangun Kemauan) dan Tut Wuri Handayani (Di Belakang Memberi Dorongan).
Seorang kepala sekolah harus menjadi teladan bagi semua guru, karyawan dan murid sekolah. Sekolah Kristen yang terus berkembang maju pastilah memiliki pemimpin sekolah yang dapat dipercaya. Ia tidak hanya menguasai kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi multimedia maupun bahasa sebagai alat komunikasi, melainkan juga berkarakter kristiani yang membuatnya terus berkarya dengan rendah hati, penuh kasih dan hikmat. Seorang guru harus menjadi teladan bagi murid-muridnya, tidak hanya di dalam kelas tapi dalam seluruh kesempatan berinteraksi, baik melalui perkataan dan perbuatan maupun melalui penampilan dan gaya hidupnya sehari-hari. Orangtua juga harus menjadi teladan bagi anak-anaknya. Tidaklah pantas bila orangtua menuntut sekolah mencetak anaknya menjadi anak yang berdisiplin dan berbudi pekerti luhur dalam waktu singkat, sementara belasan tahun mereka telah membiarkan anak itu malas, manja dan berlaku egois serta membesarkan dia dalam pola hidup hedonis–jauh dari takut akan Tuhan.
Sebaliknya sebagai anak, kita harus menghormati orangtua kita terlepas dari segala kelemahan dan kekurangan mereka karena melalui merekalah kita bisa hidup dan menjadi diri kita sekarang ini. Orangtua kitalah yang telah mengurus dan melindungi kita ketika kita masih kecil, lemah dan tak berdaya. Jumlah waktu, tenaga dan uang yang telah mereka berikan bagi kita takkan bisa digantikan dengan apapun, terutama kasih, perhatian, harapan dan doa yang mereka berikan bagi kita setiap waktu. Sebagai bawahan, kitapun harus mau mendukung semua keputusan yang baik dan benar dari pemimpin kita karena hanya dengan demikianlah ketertiban, kemajuan dan kesuksesan bisa diraih. Jadi di manapun posisi kita, kita tidak bisa mengelak dari tanggung jawab yang melekat pada diri seiring dengan hak yang didapat.
Seorang teman berbagi hal indah yang didapatnya dari seorang hamba Tuhan bahwa keselamatan yang kita terima dari Yesus Kristus sama seperti uang sekolah yang sudah dibayar lunas oleh orangtua bagi anaknya. Maka kita harus mengerjakan keselamatan kita dengan sungguh-sungguh seperti anak yang mengerjakan tugas-tugas sekolahnya dengan tekun supaya ia berhasil lulus sekolah. Seperti orangtua yang senang dan bangga melihat anaknya rajin belajar dan bertanggung jawab atas semua perbuatannya, Tuhan pun senang melihat kita mau taat pada-Nya dan penuh tanggung jawab dalam menjalani hidup ini sehingga setiap kita datang kepada-Nya, berkat-Nya diberi!
Peduli
Dunia akan menjadi jauh lebih buruk saat tidak ada lagi orang Kristen yang menjadi terang dan garam dunia. Saat semua orang berdiam diri saja mengetahui pelecehan martabat manusia terjadi di depan mata, saat orang memilih menutup mata dan tidak peduli pada keselamatan orang lain–yang penting diri sendiri aman–maka sesungguhnya kita sedang mempercepat kehancuran dunia ini.
Kompas Senin 20 Juni 2011 membahas kerusakan moral bangsa yang mencemaskan karena terjadi di hampir semua lini, baik di birokrasi pemerintahan, aparat penegak hukum, maupun masyarakat umum. Sebagai contoh, Yusak Yaluwo dapat menang Pilkada Kabupaten Boven Digoel meskipun sebelumnya sudah divonis 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor dalam kasus korupsi APBD Rp 66 miliar dan Jefferson M. Rumajar menang Pilkada Tomohon, Sulawesi Utara padahal sebelumnya ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi APBD 2006-2008 senilai Rp 19,8 miliar dan telah divonis 9 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor. Ternyata sering kali mereka yang terpilih bukan dipilih berdasarkan karakter dan hasil karyanya, tapi hanya berdasarkan wajah, kekayaan atau penampilannya saja! Janganlah hal itu juga menjadi kriteria kita saat kita memilih pengurus atau pemimpin sekolah, pasangan hidup atau calon menantu!
Seperti Martin Luther King Jr., saat menghadapi diskriminasi rasial yang sangat jahat di negaranya, memilih untuk tetap percaya bahwa suatu hari generasi anak-anaknya tidak akan lagi dihargai karena warna kulit melainkan karena perbuatan dan karakter mulia. [Kitapun dapat percaya bahwa tidak akan ada praktik diskriminasi agama di Indonesia karena perbuatan dan karakter mulia yang ditunjukan oleh setiap orang Kristen].
Akhirnya ketaatan kita pada Tuhan, tanggung jawab kita pada semua yang Tuhan percayakan pada kita dan kepedulian kita pada dunia yang Tuhan titipkan pada kita adalah tolak ukur yang membedakan hidup kita orang Kristen dari non Kristen. Sudahkah dunia melihat semua nilai utama tersebut–sosok Kristus–pada diri kita di rumah, di gereja, di tempat kita menjalani hidup sehari-hari? Sudahkah mereka belajar dari kita tentang perintah-perintah-Nya?
[“Ajarlah Mereka Melakukan Segala Sesuatu yang Telah Kuperintahkan kepadamu.” (Matius 28:20a)]
Oleh: Eva Khaliska Hamdani