Thursday, April 25, 2024
Google search engine
HomeUncategorizedThe Tragedy of Compromise (bagian 5)

The Tragedy of Compromise (bagian 5)

Berusaha Menjadi  “Orang Baik”

[AkhirZaman.org] Kami rasa adalah fair untuk mengatakan bahwa semangat Injili Baru adalah semangat yang kompromistis, menghindari kontroversi. Menariknya, dalam melukiskan permasalahan mula-mula yang terjadi antara Fuller Seminary dengan denominasi Presbyterian, Marsden melaporkan bahwa Presbyterian mengira seminari tersebut memecah belah. Untuk menghadapi persepsi tersebut dan mempertahankan nama baik mereka dengan para pemimpin denominasi, pemimpin Fuller “menghindari kontroversi”.[27] Injili Baru mengkhususkan diri di dalam “menghindari kontroversi”. Apa yang kita butuhkan, menurut kebanyakan pemimpin-pemimpin tersebut, bukan konfrontrasi, tetapi kontekstualisasi. “Yang dibutuhkan bukan hanya sekedar penerapan doktrin alkitabiah secara praktis, namun menerjemahkan doktrin itu ke dalam konseptualitas yang berkaitan dengan realitas struktur sosial kita dan pola hidup yang dominan pada suatu masa”.[28] Kelihatannya ia ingin mengatakan bahwa gereja harus beradaptasi, bahwa jemaat harus memberi akomodasi. Gereja harus menyampaikan pemberitaannya dengan pola yang dapat diterima oleh masyarakat di dalam suatu masa tertentu.

Francis Schaeffer bukan seorang separatis yang konsisten. Ia memulai pelayanan pada saat berkecamuknya kontroversi yang mengiringi keluarnya J. Gresham Machen dan lainnya dari gereja Presbyterian. Namun kemudian ia merangkul persekutuan yang lebih luas dan bukan dikenal sebagai seorang fundamentalis yang kuat lagi. Namun di tahun-tahun pelayanannya yang terakhir, ia menyuarakan suatu peringatan yang keras kepada gereja. Secara khusus ia memperingatkan umat Tuhan akan bahayanya suatu semangat yang akomodatif. Putera Francis Schaeffer, Franky, mengeluhkan apa yang dikatakannya “sikap buru-buru menyesuaikan diri yang menyedihkan”.[29]

Semua orang ingin menjadi “orang baik”; tak seorangpun mau menjadi “orang jahat”. “Orang jahat” memecah-belah persekutuan yang menyenangkan, mereka adalah “tukang siul” theologis dan ekklesiastikal – dan sedikit sekali orang yang mau mendengarkan siulan itu. Akibat usaha kebanyakan dari mereka yang ingin menjadi “orang baik”, penggalan pinggir kekristenan tersebut menjadi tumpul. Jelaslah jika dikatakan bahwa “kebaikan injili telah memperlunak kesaksiannya secara serius”, dan karena sadar akan hal itu, “kita harus berhati-hati terhadap kesopanan yang mengembangkan sifat takut-takut”.[30]

Tentu saja orang Kristen tidak boleh menerima para theolog sesat dan para pendukungnya. Tetapi tetap saja beberapa kalangan injili menolak keras pentingnya sikap ini, mereka sama sekali tidak ingin “menyerang” dan “menang”. J. Gresham Machen pada tahun 1924 memberikan pidato pada Founder’s Week (‘Minggu Pertemuan Para Pendiri’) di Moody Bible Institute. Judul pidatonya adalah “Kejujuran dan Kebebasan di dalam Pelayanan Kristen”. Ia berkata, “Dosa terberat masa kini adalah mengatakan bahwa anda setuju dengan iman Kristen dan percaya kepada Alkitab, tetapi kemudian berpihak kepada mereka yang menyangkal kenyataan kekristenan yang mendasar. Tak ada yang lebih jelas lagi bahwa orang yang tidak di dalam Kristus adalah orang yang menentang Dia”.[31]

Sangat menarik untuk membaca konflik yang terjadi antara pengkhotbah besar Inggris, Martyn Lloyd-Jones, dengan orang-orang di negerinya, Inggris Raya, yang ingin melunakkan tuntutan Alkitab dan berkompromi dengan berbagai bujukan doktrinal. Lloyd-Jones, yang merupakan seorang pengkhotbah doktrinal yang kuat, tidak bisa mendiamkan orang-orang yang lemah dalam urusan ini. Ia mengeluhkan munculnya suatu “keturunan baru”: “Sebuah suasana pemikiran baru masuk dengan cepat sekali … Jadi mereka sama sekali tidak sabar dengan orang yang menekankan doktrin yang benar… Mereka sangat tidak suka dengan para nabi. Mereka menginginkan orang yang tidak berbahaya dan tidak menyakiti, yang sama sekali tidak akan mengganggu siapapun”.[32]

Beberapa kalangan Injili Baru tidak ragu-ragu untuk bersoal-jawab dengan kaum liberal mengenai masalah inspirasi Alkitab atau keillahian Kristus. Tetapi banyak yang tidak mau membuat pernyataan dogmatis dan mempertahankan posisi yang kuat dalam bidang-bidang doktrin yang diperselisihkan di antara kaum injili. Karena itulah banyak yang berkata, “Secara pribadi saya bukan seorang kharismatik, tetapi saya tidak yakin harus “menampar” mereka yang mempertahankan pandangan kharismatik”. Ini merupakan suatu semangat akseptasi (menerima), kelonggaran, dan kesediaan untuk memperbolehkan berbagai posisi yang berbeda. Apakah yang menimbulkan sikap ini di dalam gereja Kristen? “Pertama, hal itu terjadi karena derajat semangat dan sikap duniawi telah merembes ke dalam gereja. Bukanlah kebetulan jika injili mulai menyukai keterbukaan dan menolak ‘keeksklusifan’ pada saat-saat ketika suasana pemikiran umum sedang menentang dogmatisme pada setiap bidang pengetahuan. Suasana hati pada saat itu adalah menentang segala keabsolutan”.[33]

Semangat ini telah mengakibatkan para penafsir Alkitab masa itu dengan segala cara berusaha menggali pengajaran baru yang menakjubkan yang terkubur di dalam Alkitab yang belum pernah dibuka oleh para cendekiawan orthodoks sampai pada generasi ini. Lihat dan perhatikan baik-baik, atas nama evangelikalisme (injili), kini banyak yang membela homoseksual, aborsi dan feminisme. Bagaimana mereka sampai kepada sikap demikian? Mereka menghasilkannya dengan mengakomodasi Firman Tuhan dengan perkembangan mode-mode intelektual yang terakhir.

Sedikit sekali yang mau dikenal sebagai ‘orang kontroversial’. Mereka ingin dianggap mengasihi, ramah dan rasional. Orang dianggap ‘rasional’ jika ia tidak dogmatis. Seorang pengamat yang tajam dengan tepat mencatat hal ini ketika merenungkan semakin melemahnya keyakinan kaum injili itu. Ia mengatakan, bahwa “ada ketakutan yang berlebihan akan dianggap negatif, kontroversial dan suka bertengkar. Kritikan terhadap hampir segala hal telah menjadi hal yang tidak populer di antara orang-orang yang mengaku Kristen. Sikap mengasihi dianggap sebagai sebuah sikap yang menerima setiap orang sebagaimana adanya …Kewajiban ‘mempertahankan iman dengan tekun’ bahkan semakin direndahkan. Menekankan hal-hal tersebut berarti mengambil resiko untuk kehilangan meningkatnya akseptasi yang diharapkan kaum injili’ “.[34]

Ada suatu keinginan yang besar di antara kaum injili masa kini untuk bisa diterima oleh para penggerak dan pengguncang dunia ini. Mereka tidak mau dianggap sebagai kelompok penganut theologi sempit yang ‘terbelakang’. Mereka ingin menjadi sorotan. Pengakuan dunia merupakan keinginan mereka yang menyala-nyala. Dan banyak yang rela membayar mahal untuk menerima posisi demikian.

Orang merasa ngeri membaca kritikan dari salah seorang pengamat, namun kebenarannya harus diakui: “Kelompok injili menjilat kesana-kemari untuk mendapatkan perhatian dunia sekuler yang tidak ambil peduli. Mereka menunjukkan dirinya patut dikasihani, bukannya mempunyai pikiran yang luas, lebih menunjukkan pengkhianatan daripada mengakomodasi … yang bahkan lebih rela meninggalkan prinsip iman yang mendasar, seperti ketiadasalahan Alkitab, daripada tampil tidak sesuai mode”.[35]Penulis yang sama ini melanjutkan,

Seperti para petani yang menggigil kedinginan di gubuknya yang terletak di lahan gedung tuan tanah yang luas, para pemimpin injili kerapkali kelihatannya merindukan sebuah tempat di dalam istana – dengan lampu yang terang-benderang, balon-balon dan hiasan-hiasan mutakhirnya – atau paling tidak pandangan doktrinalnya mendapat pengakuan dari World Council of Churches (Dewan Gereja-gereja Dunia), atau jika tidak mendapat pengakuan tersebut, setidak-tidaknya dimuat di dalam Christian Century. Sungguh sebuah sikap rendah diri yang menyedihkan, yaitu sikap selalu mengacu kepada pandangan yang lain, sementara pandangan sendiri tidak dipertahankan, dan kompromi yang tak henti-hentinya, sangat mewujudkan injili masa kini.[36]

Ketika Fuller Seminary didirikan, ia dipuji-puji sebagai sebuah institusi yang lebih “terbuka pikirannya”. Sementara beberapa kalangan anggota fakultas yang mula-mula tidak senang dengan segala yang dibawa, mereka segera keluar dan seminari tersebut terbenam di jalur kompromi. Dalam perkembangan berikutnya, Marsden menulis, “Perlunya keterbukaan yang membentuk sebuah koalisi injili baru sebetulnya beresiko … Itu juga berarti bahwa sebuah penekanan baru bisa tak terkendali”.[37] Ya, jelas ia menjadi “tak terkendali”. Penginjil radio terkenal, Charles Fuller seharusnya menunduk malu atas pemikiran yang berasal dari Fuller Seminary yang menggunakan nama evangelikalisme (injili).

Apa yang akan terjadi jika orang mengkompromikan kebenaran yang vital? Institusi, gereja, dan gerakan-gerakan dimana mereka terlibat akan mengalami pembusukan rohani. Bahkan seorang seperti Thomas Oden, seorang liberal, melihat bahaya akomodasi tersebut. “Pokok masalah theologi kontemporer adalah akomodatif terhadap modernitas … Semangat akomodasi telah … [mengarah kepada] pembusukan yang terus-menerus selama ratusan tahun dan bencana dekade-dekade terakhir”.[38]Para pemimpin Injili Baru mula-mula tidak pernah bermimpi panjang bahwa para pengikut mereka akan meninggalkan posisi alkitabiah yang dihargai agar lebih mendapat pengakuan dan penerimaan yang lebih baik dari masyarakat, sehingga menghinakan tuntutan kebenaran Firman Tuhan yang tak boleh diubah. Semakin banyak orang injili yang mulai “mencurangi” doktrin inspirasi penuh yang dihormati sepanjang masa. Dalam sebuah penelitian yang mengagumkan, Schaeffer menunjukkan hubungan antara kompromi asli dengan kesesatan dan kompromi yang kemudian dengan doktrin esensial.

Mereka yang tidak meninggalkan denominasi yang dikendalikan liberal 50 tahun yang lalu juga berkembang menjadi dua sikap. Yang pertama adalah lahirnya latitudinarianisme umum (faham yang tidak menganggap penting dogma – penerjemah) … Jika seseorang memegang faham latitudinarianisme gerejawi, maka akan gampang baginya masuk ke dalam latitudinarianisme kooperatif yang mudah sekali bergeser ke doktrin, termasuk pandangan seseorang terhadap Alkitab. Secara historis inilah yang terjadi. Karena latitudinarianisme gerejawi pada tahun 30-an dan 40-an muncullah kekecewaan terhadap Alkitab dalam hal-hal tertentu dari injili tahun 80-an.[39]

Gagasannya adalah bahwa semangat akomodatif yang banyak tertanam di dalam denominasi-denominasi lama yang telah sesat, yang menolak untuk memisahkan diri, tetap bertahan selama bertahun-tahun. Mereka tidak menghendaki adanya peperangan theologis. Mereka memperluas parameter penerimaan theologis sepanjang mereka berani mengakomodasi kelompok yang berbeda pandangan. Kubu mereka sangat besar. Hunter dengan jitu mengatakan bahwa “batas simbolis orthodoksi Protestan tidak dipertahankan atau diperkuat”.[40]Ia bertanya-tanya apakah Protestan kontemporer kini tidak sanggup mempertahankan batas-batas tersebut. Dan kepada apakah ia menghubungkan ketidakmampuan yang menakutkan ini? Ini ada hubungannya dengan apa yang disebutnya “etika kesopanan”.

Pada umumnya kaum injili dan khususnya generasi mendatang telah mengadopsi berbagai tahapan kode etik sopan-santun politis. Hal ini bukan saja memaksa mereka untuk bertoleransi terhadap keyakinan, pendapat dan gaya-hidup yang berbeda, tetapi yang lebih penting lagi adalah mereka bisa diterima oleh pihak lain. Dogma yang kritis adalah bukan untuk menyerang, tetapi bersikap sopan dan menjaga hubungan sosial. Adopsi etika ini selain mencerminkan diri mereka secara politis, ia juga mencerminkan diri mereka sebagai sebuah gaya religius … Pengertian yang terakhir ini membawa kelonggaran penekanan aspek evangelikalisme yang lebih ofensif, seperti tudingan sesat, dosa, amoral, dan paganisme, serta pokok-pokok penghakiman, kemurkaan Tuhan, kutukan, dan neraka. Segala sesuatu yang mengisyaratkan keabsolutan moral atau religius dan tidak-toleran adalah sikap yang menghambat.[41]

Bagaimana mungkin semangat yang lazim di dalam evangelikalisme yang berkembang ini cocok dengan Firman Tuhan? Apakah rasul Paulus dan para pemimpin besar gereja mula-mula berusaha mengakomodasi pengajaran mereka terhadap para pendengar duniawi dan belum diselamatkan? Kepada orang Korintus ia menulis, “Demikianlah pula, ketika aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Tuhan kepada kamu… Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan…” (1 Kor. 2: 1, 4). Dalam pengajarannya di Tesalonika, Paulus tidak pernah “bermulut manis” (kata-kata yang dimaksudkan untuk memberikan kesan yang menyenangkan mereka, 1 Tes. 2: 5). Ia tidak berputar-putar, namun menyatakan kebenaran dengan jelas dan tanpa distorsi atau berusaha untuk membuatnya “cocok’ dengan keinginan para pendengarnya (2 Kor. 4: 1-2). Banyak orang yang marah dengan pengajarannya, sehingga menyebabkan mereka berusaha untuk membunuhnya (Kis. 9: 23, 29). Ia terus-terang menyatakan bahwa pemberitaannya yang jelas dan tidak dibuat-buat adalah “kebodohan” bagi pendengar yang berpengalaman dengan hal-hal duniawi pada zamannya (1 Kor. 1: 23), meskipun demikian ia berjanji tidak akan ragu sedikitpun dalam memberitakan Injil yang tidak populer (1 Kor. 2: 2). Daripada mengelu-elukan hikmat dunia sebagai sesuatu yang didambakan, ia mengecamnya sebagai “kebodohan bagi Tuhan” (1 Kor. 3 : 19). Paulus bukan mengembangkan layar untuk berlayar di dunia ini. Ia memberitakan kebenaran dan bersandar kepada Roh Kudus untuk menerangi pikiran para pendengarnya. Paulus tidak memiliki semangat Injili Baru. Ia merupakan pejuang iman, yang memegang dan menggunakan pedang Roh untuk menghadapi musuh Tuhan.

Dari buku: the Tragedy of Compromise: The Origin and Impact of the New Evangelicalism

By: Ernest D. Pickering

Sumber: http://dedewijaya.blogspot.com

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments

Anda rindu Didoakan dan Bertanya?