Friday, March 29, 2024
Google search engine
HomePendalamanNubuatanPEMISAHAN DIRI LUTHER DARI ROMA (1)

PEMISAHAN DIRI LUTHER DARI ROMA (1)

[AkhirZaman.org] Martin Luther adalah seorang yang terkemuka dari orang-orang yang terpanggil untuk memimpin gereja keluar dari kegelapan kepausan kepada terang iman yang lebih murni. Seorang yang bersemangat, rajin dan berserah, tidak mengenal rasa takut kecuali takut kepada Allah, yang mengakui tidak ada dasar iman keagamaan kecuali Alkitab. Luther adalah tokoh pada zamannya. Melalui dia Allah melakukan pekerjaan-pekerjaan besar untuk pembaharuan gereja dan menerangi dunia.

Seperti pesuruh pesuruh Injil yang pertama, Luther muncul dari lapisan masyarakat miskin. Masa kecilnya dihabiskan di rumah sederhana seorang petani Jerman. Dengan pekerjaan sehari hari sebagai seorang pekerja tambang, ayahnya dapat menyekolahkannya. Ayahnya berniat agar Luther kelak menjadi seorang pengacara. Tetapi Allah bermaksud membuat dia menjadi seorang pembangun di kaabah Nya yang berkembang begitu lambat selama berabad-abad. Kesukaran, penderitaan dan tindakan disiplin adalah sekolah dimana Yang Mahabijak mempersiapkan Luther bagi suatu misi penting dalam hidupnya.

Ayah Luther adalah seorang yang berpikiran kuat dan aktif, dan mempunyai tabiat yang teguh, jujur, tabah dan lurus. Ia setia kepada keyakinan tugasnya walau apapun akibatnya. Citarasanya yang sejati menuntunnya tidak percaya kepada sistem biara. Ia sangat tidak senang pada waktu Luther memasuki biara tanpa persetujuannya. Selama dua tahun hubungan mereka tidak baik karenanya, dan sesudah berdamai kembalipun pendirian ayahnya tetap sama.

Orang tua Luther sangat memperhatikan pendidikan dan pelatihan anak-anaknya. Mereka berusaha mengajarkan pengetahuan akan Allah dan mempraktekkan kebijakan Kristen. Doa-doa ayahnya sering dinaikkan didengar oleh anaknya, agar anaknya boleh mengingat nama Tuhan, dan pada suatu hari membantu memajukan kebenaran Nya. Setiap kesempatan untuk memupuk moral dan intelektual yang diberikan oleh kehidupan mereka yang keras kepada mereka untuk dinikmati, selalu dikembangkan oleh orangtua ini. Mereka berusaha dengan sungguh sungguh dan dengan sabar untuk mempersiapkan anak anak mereka bagi suatu kehidupan yang saleh dan berguna. Dengan keteguhan dan kekuatan tabiat kadang kadang mereka melatih terlalu keras. Tetapi Pembaharu itu sendiri, meskipun menyadari bahwa dalam berbagai hal mereka salah, menemukan dalam disiplinnya lebih banyak persetujuan daripada hukuman.

Di sekolah, dimana ia belajar pada masa mudanya, Luther diperlakukan dengan kasar dan bahkan dengan kejam. Orangtuanya sangat miskin, sehingga pada waktu ia bersekolah di kota lain, diharuskan mencari makan sendiri dengan menyanyi dari satu rumah ke rumah yang lain, dan sering ia harus menahan lapar. Pemikiran agama yang gelap dan penuh ketakhyulan yang merajalela membuat ia ketakutan. Ia berbaring pada waktu malam dengan hati yang sedih, memandang ke masa depan yang gelap dengan gemetar, dan dengan ketakutan yang terus menerus menganggap Allah itu sebagai hakim yang lalim yang tidak menaruh belas kasihan, seorang tiran jahat, daripada seorang Bapa Surgawi yang baik hati.

Namun, dibawah begitu banyak dan begitu besar yang membuat ia tawar hati, Luther terus berusaha maju menuju standar moral yang tinggi dan keungguluan intelektual yang menarik jiwanya. Ia haus akan pengetahuan, dan kesungguh-sungguhan serta sifat praktis pikirannya menuntunnya menginginkan yang kuat dan berguna, daripada yang menyolok dan dangkal.

Pada usia 18 tahun, waktu ia memasuki universitas Erfurt, keadaannya sedikit lebih baik, dan hari depannya lebih cerah daripada tahun-tahun sebelumnya. Orangtuanya, oleh karena berhemat dan rajin, telah mampu memberikan bantuan yang diperlukan. Dan pengaruh teman-temannya yang bijaksana telah mengurangi pengaruh suram pendidikan sebelumnya. Ia mempelajari karya-karya pengarang terbaik, dengan rajin mempelajari pikiran-pikiran berbobot, dan membuat kebijaksanaan orang-orang bijak itu menjadi kebijaksanaannya. Bahkan dibawah disiplin kasar guru-gurunya sebelumnya, ia tetap menonjol. Dan dengan pengaruh-pengaruh yang baik pikirannya berkembang dengan pesat. Ingatannya yang tajam, imaginasinya yang kreatif, daya pertimbangannya yang kuat, dan ketekunannya yang tak mengenal lelah, segera menempatkannya pada barisan depan teman-temannya. Disiplin intelektual mematangkan pengertiannya, dan membangkitkan suatu kegiatan pikiran dan suatu ketajaman persepsi yang mempersiapkan dia bagi perjuangan hidup.

Perasaan takut akan Allah selalu tinggal dalam hati Luther, yang menyanggupkannya mempertahankan keteguhan tujuannya, dan merendahkan diri dihadapan Allah. Ia mempunyai rasa ketergantungan kepada pertolongan ilahi. Dan ia tidak pernah lupa memulai setiap hari dengan doa, sementara hatinya terus memohon tuntunan dan dukungan. Sering ia berkata, “Berdoa dengan baik adalah setengah pelajaran yang lebih baik.” D’Aubigne, “History of the Reformation of the Sixteenth Century,” b. 2, ch. 2.

Ketika sedang memeriksa buku-buku di perpustakaan universitas pada suatu hari, Luther menemukan Alkitab dalam bahasa Latin. Belum pernah ia melihat buku seperti itu sebelumnya. Ia sama sekali tidak tahu keberadaan buku itu. Ia telah pernah mendengar bagian- bagian dari Injil dan Surat surat Rasul, yang telah dibacakan kepada orang-orang pada waktu kebaktian umum, dan ia berpikir bahwa itulah seluruh Alkitab itu. Sekarang, untuk pertama kalinya ia melihat seluruh firman itu. Dengan rasa kagum bercampur heran ia membalik halaman halaman kudus itu. Dengan denyut nadi yang lebih cepat dan jantung berdebar debar, ia membaca firman kehidupan itu untuk dirinya sendiri. Setelah berhenti sejenak ia berseru, “Oh, seandainya Allah memberikan buku seperti ini menjadi milikku sendiri!” Idem, b. 2, ch. 2. Malaikat malaikat Surga berada disampingnya dan sinar-sinar terang dari takhta Allah menyatakan kekayaan kebenaran itu kepada pengertiannya. Sebelumnya ia selalu takut melanggar kehendak Allah. Tetapi sekarang ia mempunyai kesadaran yang mendalam mengenai keadaannya sebagai orang berdosa dan bergantung kepada Allah seperti belum pernah sebelumnya.

Suatu kerinduan yang sungguh-sungguh untuk bebas dari dosa dan untuk memperoleh kedamaian dengan Allah, akhirnya menuntun dia memasuki sebuah biara, dan menyerahkan dirinya kepada kehidupan biara. Di sini ia diharuskan melakukan pekerjaan yang paling rendah, dan meminta minta dari rumah ke rumah. Pada waktu itu ia berada pada tingkat umur dimana penghormatan dan penghargaan sangat didambakan. Dan pekerjaan yang cocok untuk seorang hamba ini sangat melukai perasaan alamiahnya. Tetapi dengan tabah dan sabar ia tahankan pekerjaan yang merendahkan diri ini, sebab ia percaya bahwa hal itu diperlukan oleh dosa-dosanya.

Setiap saat di waktu senggangnya ia gunakan untuk belajar, sehingga mengurangi tidurnya, bahkan sebagian menghabiskan waktu untuk makan yang tidak mencukupi itu. Diatas segalanya yang lain, ia bersuka cita mempelajari firman Allah. Ia menemukan sebuah Alkitab yang dirantai ke dinding biara, dan untuk ini ia sering pergi ke situ. Sementara keyakinannya mengenai dosa semakin mendalam, ia mulai mencari pengampunan dan kedamaian atas usahanya sendiri. Ia menghidupkan suatu kehidupan yang ketat, dengan berpuasa, berjaga dan berdoa sepanjang malam, dan menyiksa diri untuk menundukkan keadaannya yang jahat, yang untuk ini kehidupan biara tidak dapat membebaskannya. Ia tidak menahankan pengorbanan, dengan harapan, mudah mudahan oleh itu ia memperoleh kesucian hati yang akan menyanggupkannya berdiri berkenan dihadapan Allah.

“Sesungguhnya aku adalah seorang biarawan yang taat,” katanya kemudian, “dan mematuhi semua peraturan ordeku lebih ketat daripada yang dapat aku katakan. Jikalau pernah seorang biarawan memperoleh Surga oleh pekerjaannya sebagai biarawan, aku merasa pasti berhak untuk itu . . . . Jika pekerjaan itu diteruskan lebih lama lagi, pekerjaan penyiksaan diri itu akan menewaskan aku.” D’Aubigne, b. 2, ch. 3.

Sebagai akibat disiplin yang menyakitkan, ia kehilangan kekuatannya, dan menderita pingsan kejang-kejang, yang tidak pernah sembuh benar dari pengaruhnya. Tetapi dengan semua usahanya ini jiwanya yang menanggung beban tidak menemukan kelegaan. Akhirnya ia berada ditepi jurang keputus asaan.

Bilamana tampaknya semua sudah hilang bagi Luther, Allah memberikan seorang sahabat dan penolong baginya. Staupitz yang saleh membuka firman Allah kedalam pikiran Luther dan mengajaknya mengalihkan pandangannya dari dirinya sendiri, menghentikan merenungkan hukuman tanpa batas karena pelanggaran hukum Allah, dan memandang kepada Yesus, Juru Selamat yang mengampuni dosa itu. “Daripada menyiksa dirimu oleh karena dosa dosamu, jatuhkanlah dirimu ketangan Penebus. Percayalah kepada Nya, kepada kebenaran kehidupan Nya, kepada penebusan kematian Nya . . . . Dengarkanlah Anak Allah. Ia menjelma menjadi manusia untuk memberikan kepadamu jaminan perkenan ilahi.” “Kasihilah Dia yang telah lebih dahulu mengasihimu.” Idem, b. 2, ch. 4. Demikianlah pesuruh kemurahan itu berbicara. Kata-katanya itu membawa kesan mendalam di pikiran Luther. Setelah bergumul dengan kesalahan- kesalahan kesayangan lama, ia akhirnya mampu menerima kebenaran, dan kedamaianpun datang kepada jiwanya yang susah.

Univrsts-wtnbrg CopyLuther ditahbiskan menjadi imam, dan telah dipanggil keluar dari biara menjadi guru besar di Universitas Wittenberg. Disini ia mempelajari Alkitab dalam bahasa aslinya. Ia mulai memberi ceramah mengenai Alkitab. Dan buku buku Mazmur, Injil, dan Surat Rasul-rasul telah dibukakan kepada pengertian para pendengar yang bergembira. Staupitz, sahabatnya dan atasannya, mendorongnya untuk naik mimbar dan mengkhotbahkan firman Allah. Luther merasa ragu karena merasa dirinya tidak layak berbicara kepada orang-orang sebagai ganti Kristus. Hanya setelah pergumulan yang lama dia menerima permintaan sahabat-sahabatnya. Ia sudah mahir mengenai Alkitab, dan rakhmat Allah turun keatasnya. Kemampuannya berbicara memikat para pendengarnya, dan penyampaian kebenaran yang jelas dan dengan kuasa meyakinkan pengertian mereka, dan semangatnya yang berapi api menyentuh hati mereka.

Luther masih tetap menjadi anggota gereja kepausan yang sungguh-sungguh, dan tidak pernah berpikir yang lain-lain. Dengan pemeliharaan Allah ia telah dituntun untuk mengunjungi Roma. Ia melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, dan menginap di biara biara sepanjang perjalanan. Di salah satu biara di Italia ia dipenuhi keheranan melihat kekayaan, keindahan dan kemewahan yang disaksikannya. Para biarawan tinggal di apartemen yang megah, dengan pendapatan yang memuaskan, berpakaian yang paling mewah dan paling mahal, dan memakan makanan yang mewah. Dengan sangat ragu ragu, Luther membandingkan pemandangan ini dengan penyangkalan diri dan kesukaran yang dialaminya dalam hidupnya sendiri. Pikirannya menjadi bingung.

Akhirnya ia melihat dari kejauhan kota tujuh gunung itu. Dengan perasaan yang mendalam ia tersungkur ke tanah dan berseru, “Roma yang kudus, aku menghormatimu.” Ia memasuki kota itu, mengunjungi gereja-gereja, mendengarkan cerita-cerita dongeng yang diceritakan oleh para imam dan biarawan, dan menjalankan semua upacara yang diharuskan. Dimana-mana ia melihat pemandangan yang memenuhinya dengan kekaguman dan ketakutan. Ia melihat bahwa kejahatan terjadi di semua tingkat pendeta. Ia mendengar lelucon yang tidak sepantasnya dari para pejabat tinggi gereja, dan dipenuhi dengan kengerian kenajisan mereka, bahkan pada waktu misa. Pada waktu ia berbaur dengan para biarawan dan penduduk, ia menemui pemborosan, pesta pora dan kebejatan. Berpaling ke tempat yang seharusnya suci, ia dapati kenajisan.

“Tak seorangpun bisa membayangkan,” ia menulis, “dosa apa dan tindakan tak terpuji apa yang dilakukan di Roma. Mereka harus melihat dan mendengar sendiri supaya percaya. Dengan demikian mereka akan bisa berkata, ‘Jika ada neraka, Roma didirikan diatasnya: itu adalah suatu lobang yang dalam darimana keluar segala jenis dosa.'” D’Aubigne, b. 2, ch. 6.

Dengan dekrit yang baru, paus telah menjanjikan kesenangan kepada semua yang menaiki “Tangga Pilatus” dengan berlutut. Katanya tangga itu telah dituruni oleh Juru Selamat kita pada waktu meninggalkan pengadilan Roma, dan dengan ajaib telah dipindahkan dari Yerusalem ke Roma. Luther pada suatu hari menaiki tangga itu dengan sungguh sungguh, pada waktu mana ia tiba tiba mendengar satu suara bagaikan geledek yang berkata, “Orang benar akan hidup oleh iman” (Roma 1:17). Ia langsung berdiri dan segera meninggalkan tempat itu dengan malu dan ngeri. Ayat itu tidak pernah kehilangan kuasa atas jiwanya. Sejak waktu itu ia melihat lebih jelas dari sebelumnya pendapat yang keliru, yang mempercayai keselamatan diperoleh atas usaha manusia, dan pentingnya iman yang terus menerus kepada usaha Kristus. Matanya sekarang terbuka, dan tak akan pernah lagi tertutup, karena penipuan kepausan. Pada waktu ia memalingkan wajahnya dari Roma, hatinya juga ikut berpaling, dan sejak waktu itu jurang perpisahanpun semakin melebar, sampai akhirnya ia memutuskan semua hubungannya dengan gereja kepausan.

Sekembalinya dari Roma, Luther menerima gelar Doctor of Divinity dari Universitas Wittenberg. Sekarang ia bebas membaktikan dirinya kepada Alkitab yang dicintainya, seperti belum pernah sebelumnya. Ia telah bernazar untuk mempelajari dengan teliti firman Allah dan dengan setia akan mengkhotbahkannya seumur hidupnya, bukan kata-kata dan ajaran-ajaran para paus. Ia bukan lagi sekedar biarawan atau guru besar, tetapi juga bentara dan pejabat yang berwenang Alkitab. Ia telah dipanggil sebagai gembala untuk memberi makan kawanan domba Allah, yang telah lapar dan haus akan kebenaran. Dengan tegas ia menyatakan bahwa orang Kristen tidak boleh menerima ajaran lain selain yang berdasarkan otoritas Alkitab yang suci. Kata-kata ini menghantam dasar supremasi kepausan. Kata kata ini mengandung prinsip vital Pembaharuan (Reformasi).

Luther melihat bahayanya meninggikan teori-teori manusia di atas firman Allah. Tanpa gentar ia menyerang ketidak percayaan pada agama yang spekulatif dari para dosen, dan menentang filsafat dan teologi yang telah begitu lama mempunyai pengaruh menguasai orang orang. Ia mencela pelayanan yang seperti itu sebagai bukan saja tidak berguna, tetapi juga berbahaya. Dan ia mencoba mengalihkan pikiran pendengarnya dari argumentasi yang tidak benar dengan tujuan menipu dari para ahli filsafat dan ahli teologi, kepada kebenaran kekal yang diletakkan oleh para nabi dan para rasul.

Begitu berbahaya pekabaran yang dibawanya kepada para pendengar yang rindu dan yang lapar akan kata-katanya. Belum pernah pengajaran seperti itu mereka dengar sebelumnya. Berita kesukaan mengenai kasih Juru Selamat, jaminan pengampunan dan kedamaian melalui penebusan darah Nya, memberikan sukacita dan mengilhamkan suatu pengharapan kekal didalam hati mereka. Di Wittenberg satu terang sudah dinyalakan yang sinarnya harus meluas sampai ke hujung bumi, dan yang terangnya bertambah menjelang akhir zaman.

Akan tetapi terang dan kegelapan tidak bisa berbaur. Antara kebenaran dan kesalahan ada pertentangan yang tidak bisa dihilangkan. Untuk meninggikan dan mempertahankan yang satu kita harus melawan dan membuangkan yang lain. Juru Selamat kita sendiri berkata: “Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang” (Matius 10:34). Luther berkata beberapa tahun setelah Pembaharuan, “Allah tidak menuntun aku, Ia mendorong aku kedepan. Ia membawa aku. Aku bukan tuan atas diriku. Aku rindu hidup dengan tenang, tetapi aku telah dilemparkan ke tengah tengah keributan dan revolusi.” D’Aubigne, b. 5, ch. 2. Sekarang ia hampir terbujuk memasuki pertarungan.

Bagaimana kelanjutannya? ikuti dalam pembahasan artikel PEMISAHAN DIRI LUTHER DARI ROMA (2)

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments

Anda rindu Didoakan dan Bertanya?