Friday, March 29, 2024
Google search engine
HomeUncategorizedThe Tragedy of Compromise (bagian 2)

The Tragedy of Compromise (bagian 2)

Membangun Sikap Netral, Awal dan Perkembangan Injili Baru

[AkhirZaman.org] Pada tahun 1920-an dan 1930-an, garis pertempuran ditarik dengan jelas antara fundamentalisme dan modernisme. Kontroversi yang hebat meletus di dalam berbagai denominasi. Perjuangan itu berat dan kadang-kadang terasa pahit. Masa depan gereja, sekolah theologi, seminari, dan badan-badan misi dipertaruhkan. Orang-orang yang meyakini Alkitab mencurahkan hidup dan sumber-daya mereka ke dalam entitas-entitas tersebut dan tidak rela mereka jatuh ke tangan musuh-musuh kebenaran

Namun sementara pertempuran berlangsung, beberapa kalangan jatuh keletihan. Tidak semuanya senang menjadi ‘fundamentalis yang bertempur,’ dan kontroversi terasa terlalu panjang bagi beberapa pihak. Mereka berpikir, sudah saatnya untuk mengubah pendekatan. Dari pemikiran ini, lahirlah gerakan yang kita rujuk sebagai “Injili Baru” (“The New Evangelicalism”).

Angin Baru Bertiup

Beberapa tahun yang lalu seorang fundamentalis terkemuka menyatakan dengan tepat bahwa Injili Baru lahir dengan sebuah ‘mood’ (‘suasana hati’). Sulit untuk mendefinisikan ‘mood’, namun meskipun begitu ia sangat nyata dan kuat. Seseorang yang sedang dalam ‘mood’ yang jelek dapat mengakibatkan banyak masalah. Sebaliknya, orang yang sedang dalam ‘mood’ yang baik dapat meningkatkan semangat semua orang di sekelilingnya. Sayangnya, suasana hati yang berkembang di antara fundamentalis muda tertentu adalah yang tidak sabar dan tidak puas dengan konflik yang berkelanjutan dengan kaum liberal.

Jelas suasana hati ini sebagian disebabkan oleh lelucon beberapa fundamentalis yang memalukan dan suka berkelahi serta oleh semangat kasar dari yang lain. Beberapa pemimpin fundamentalis suka membantah dan susah bergaul. Timbullah ‘sikut-menyikut’ yang tidak perlu, dan beberapa fundamentalis melakukan serangan yang tidak benar terhadap yang lain. Semangat dari beberapa kalangan ini mengecilkan kalangan yang lebih muda, dan dengan disertai faktor-faktor lain yang akan dibahas kemudian, mendorong mereka bersikap lebih lemah dan terbuka.

Kaum fundamentalis yang jujur harus mengakui bahwa beberapa kalangan dari mereka telah berbuat keterlaluan dan bersikap tidak alkitabiah. Ada di antara mereka yang telah bersikap kedagingan dan tidak di dalam Roh. Beberapa di antara mereka memaksakan bahwa setiap orang yang bersekutu dengan orang yang lain harus menerangkan dengan sejelas-jelasnya seperti yang mereka lakukan. Dengan kata lain, kaum fundamentalis telah cukup menunjukkan fakta, bahwa mereka juga mempunyai ‘sifat-dasar yang tua’. Namun, fakta ini tidak membenarkan cakupan kekeliruan filosofi, theologi atau metodologi. Bertahun-tahun penulis telah memperingatkan para pengkhotbah muda, bahwa mereka tidak boleh menolak posisi alkitabiah, karena beberapa fundamentalis telah terbukti memalukan atas perkara itu.

Berkembangnya Posisi Kompromi

Harold Ockenga, gembala yang lama melayani di Park Street Church di Boston, menyatakan telah menemukan istilah “New Evangelicals” (“Injili Baru”) di dalam sebuah pidato pertemuan di Fuller Theological Seminary (Sekolah Theologi Fuller) pada tahun 1948. Ockenga, yang juga merupakan rektor pertama dari Fuller Theological Seminary, sering disebut sebagai “Bapak Injili Baru” (The Father of the New Evangelicalism). Sebagai seorang gembala dan cendekiawan yang terkemuka, Ockenga mempunyai pengaruh yang luar biasa.

Faktor-faktor apakah yang memicu munculnya posisi yang disebut “Injili Baru” ini? Tentu saja bisa kita kutip beberapa faktor, namun enam faktor berikut merupakan yang paling signifikan.

1. Sebagai reaksi terhadap apa yang dirasakan sebagai negativisme yang berlebihan dari kaum fundamentalis

Para pemimpin Injili Baru yang mula-mula berusaha keras untuk menegaskan fakta bahwa kaum fundamentalis terlalu banyak ‘menentang’ dan tidak cukup banyak ‘berbuat’. Dalih mereka adalah “Marilah bersikap positif dan jangan negatif”. Meski pernyataan ini menyentuh perasaan banyak orang, namun pernyataan ini sama sekali bukan filosofi yang alkitabiah. Kitab Suci memiliki sisi yang positif maupun yang negatif – ia diperuntukkan bagi suatu hal dan juga menentang hal yang lainnya. Kita harus berusaha mempertahankan keseimbangan ini.

2. Adanya keinginan agar dapat diterima oleh seluruh cendekiawan di dunia

Banyak cendekiawan muda fundamentalis menjadi marah dengan kenyataan bahwa mereka tidak dipandang sebelah mata oleh sesama cendekiawan yang menekuni disiplin ilmu khusus mereka. Karena mereka fundamentalis, maka mereka dianggap kurang intelek, dan karya mereka tidak diakui oleh para cendekiawan dunia secara utuh. Hal ini menyakitkan, sehingga memotivasi mereka untuk menyesuaikan pandangan dan gaya mereka sedemikian rupa agar bisa lebih diterima oleh para pemimpin intelektual pada masa itu. Ada orang Kristen di dalam jemaat zaman kerasulan yang mempunyai kecenderungan yang serupa, sehingga Paulus mengatakan, “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafat yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus” (Kol. 2: 8). Hasrat untuk memperoleh penghargaan intelektual di mata dunia yang tidak mengenal Allah itu telah menghancurkan banyak cendekiawan yang mempunyai masa depan.

3. Pengaruh dari pendidikan di lembaga-lembaga liberal

Seseorang umumnya mencerminkan filosofi dari sekolah dimana ia dididik. Banyak cendekiawan muda fundamentalis pada tahun 1940-an, 1950-an dan 1960-an mendaftar dan kuliah di lembaga-lembaga liberal di negeri ini dan di luar negeri untuk meneruskan pendidikan kesarjanaan. Meskipun mereka tidak selalu menelan segala sesuatu yang diajarkan kepada mereka, namun posisi mereka sangat dipengaruhi oleh orang-orang tidak percaya di tempat mereka belajar. Bagi mereka hal tersebut merupakan pengalaman “yang memperluas wawasan”. Namun kita diingatkan oleh hasil observasi tidak enak dari Vance Havner beberapa tahun yang lalu ketika ia mengatakan, “Apa yang dirasakan beberapa kalangan yang mengatakan wawasan mereka bertambah luas hanyalah sekedar karena suara hati mereka yang melunak”. Sementara beberapa kalangan berhasil melewati badai ketidakpercayaan ketika belajar di lembaga-lembaga liberal, banyak juga yang tidak mampu melewatinya dan keluar dengan noda pemikiran yang tidak alkitabiah.

4. Pola berpikir umum dan semangat pada masa itu

Dogmatisme menjadi suatu konsep yang dibenci. Muncullah seruan “keterbukaan” dan menerima pandangan yang bervariasi sebagai sesuatu yang setidak-tidaknya menjadi pilihan aktif bagi orang percaya. Pendekatan hermeneutik (penafsiran) baru menjadi model di kalangan yang disebut kaum injili, yang menyerukan semangat damai menggantikan semangat militan. Semangat damai merupakan bagian dari pasangan yang tak terpisahkan di dalam Injil Baru.

5. Sebagai reaksi terhadap kritik bahwa fundamentalisme kurang mempunyai visi untuk aksi sosial

Awal 1900-an terjadi suatu peningkatan antusiasme yang sangat besar terhadap program sosial untuk mengoreksi penyakit-penyakit yang dirasakan di dalam masyarakat dan untuk menyeimbangkan status warga masyarakat. Hal ini menimbulkan apa yang disebut injil sosial yang menawan denominasi-denominasi utama, sehingga menggantikan khotbah dan pengajaran Firman Tuhan. Sementara Injili Baru tidak bertindak lebih jauh seperti yang dilakukan kaum liberal dalam memegang penekanan baru ini, namun mereka jelas sangat terpengaruh oleh penekanan tersebut. Tersengat oleh kritik yang terus-menerus bahwa kaum fundamentalis kurang memperhatikan orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan, Injili Baru berusaha memperkenalkan suatu “kesadaran sosial” yang lebih luas. Buku Carl F. Henry, The Uneasy Conscience of Modern Fundamentalism (“Nurani yang Mengusik Fundamentalisme Modern”) mengeluarkan nada demikian.

6. Berkembangnya semangat ekumenis yang menganggap kaum fundamentalis terlalu separatis

Gerakan ekumene memperoleh momentum pada tahun 1950-an dan 1960-an ketika Injili Baru sedang bangkit. “Mari kita bersatu-padu” – inilah seruan tersebut. Kaum Injili juga terpengaruh oleh keinginan ini. “Barangkali pikiran kita telah menjadi sempit. Mari kita membuka tangan persekutuan kepada orang lain yang tidak sepenuhnya sependapat dengan kita.” Menolak (atau menyangkal) merupakan perintah Rasul Yohanes: “Jikalau seorang datang kepadamu dan ia tidak membawa ajaran ini, janganlah kamu menerima dia di dalam rumahmu dan janganlah memberi salam kepadanya. Sebab barangsiapa memberi salam kepadanya, ia mendapat bagian dalam perbuatannya yang jahat” (2 Yoh. 10-11).

Akibat dari faktor-faktor tersebut, dan barangkali juga faktor-faktor lainnya, sebuah gerakan yang dikenal dengan Injili Baru mulai berkembang dengan cepat. Istilah fundamentalis ditolak dan diganti dengan istilah injili. Dalam sebuah edisi terbitan awal Christianity Today, editornya mengatakan, “Pertumbuhan yang lebih menyukai istilah injili berkembang pada tahun-tahun terakhir… Sementara di sisi lain, fundamentalisme, harus puas dengan keadaannya yang semakin merosot dan mendapat predikat tidak alkitabiah.”[1] Sementara mereka jelas telah berubah, mereka tidak ingin masyarakat fundamentalis mengetahui bahwa mereka telah banyak berubah. Mereka sesungguhnya mempunyai ‘agenda yang tersembunyi’. Perjuangan mereka untuk menjadi Injili Baru sementara masih tampil sebagai fundamentalis diceritakan dengan terperinci di dalam buku Marsden yang mengagumkan, Reforming Fundamentalism (“Mereformasi Fundamentalisme”). Alat liberal, Christian Century, dalam menilai kebangkitan Injili Baru, dengan tajam memperhatikan bahwa kelompok ini dipimpin oleh “sekelompok anak muda yang tidak sabar dengan fundamentalisme seperti yang mereka rasakan. Mereka menyebut diri sebagai injili baru … Mereka harus mengenakan pakaian lama fundamentalisme sementara berusaha mengubah orang yang di dalamnya.”[2] Yang lainnya menyatakan sebagai berikut: “Injili baru … sebenarnya mencoba merehabilitasi fundamentalisme lama … Injili baru sebenarnya adalah fundamentalisme lama.”[3]

Meskipun ada pertalian historis antara fundamentalisme dan Injili Baru, namun perbedaan sudah mulai muncul pada tahapan awal. Di antaranya terdapat perbedaan penekanan, dalam semangat, dan di dalam persepsi mengenai gereja dan tujuannya. Marsden menggambarkan pendekatan Injili Baru sebagai berikut:

Mereka [Injili Baru] terus menentang liberalisme theologi, tetapi melepaskan militansi sebagai aspek utama identitas mereka. Mereka bersedia meninjau-ulang beberapa warisan theologis mereka sendiri, dan seringkali meninggalkan posisi dispensasionalisme, walaupun biasanya bukan posisi premillennialisme, serta memperbolehkan perdebatan setidak-tidaknya mempertanyakan inerrancy Alkitab. Karena berhasrat menjadi suatu koalisi theologis Protestan konservatif yang luas, mereka biasanya toleran dengan beberapa perbedaan doktrin yang lain, termasuk Pentakostalisme. Evangelisme (Injili), seperti yang disingkat oleh Billy Graham, tetap merupakan aktivitas utama mereka, walaupun kini bentuk perwujudannya kadang-kadang menghindari penekanan kepada Injil yang mempunyai sifat offensif (menyerang).[4]

Tonggak Sejarah Menuju Kompromi

Injili Baru menginginkan suara yang lebih bulat dan suatu struktur organisasi dimana prinsip-prinsip mereka dapat disebarluaskan. Keinginan ini menyebabkan dibentuknya The National Association of Evangelicals (NAE/Asosiasi Injili Nasional) pada tahun 1942. Pada saat yang hampir bersamaan, Carl McIntire membentuk The American Council of Christian Churches (ACCC/Dewan Gereja-gereja Kristen Amerika). Kedua organisasi tersebut mengadakan pembicaraan, namun para pemimpin NAE yang baru dibentuk itu menganggap ACCC terlalu militan, terlalu separatis, dan terlalu vokal menentang gerakan ekumene dan para pemimpinnya. Mereka merasa bahwa pendekatan ini akan menghalangi mereka dalam mengerjakan tujuan mereka. NAE menjadi kendaraan organisasional terkemuka bagi penyebaran Injili Baru.

Pendirian Fuller Theological Seminary (Sekolah Theologi Fuller) di Pasadena, California, pada tahun 1947 merupakan tonggak sejarah lain dan memang sangat monumental. Seorang penulis menggambarkannya sebagai “pusat terkenal bagi pendidikan injili kiri.”[5] Di dalam sebuah surat edaran dari rektor, Edward J. Carnell, yang ditujukan kepada konstituensi sekolah, tertulis, “Tujuan yang telah kita tetapkan adalah untuk menghasilkan suatu injili yang besar dengan memadukan pembelajaran yang besar dengan kasih yang besar… demi menghasilkan suatu ‘injili baru.’ “[6] Nama sekolah tersebut diambil dari nama penyumbang dan pendirinya, Charles Fuller, direktur dari radio siaran yang terkenal, “The Old Fashioned Revival Hour,” namun posisi theologisnya segera menuju sedikit persamaan dengan apa yang melambungkan nama Fuller.

Pada Maret 1956 dunia fundamentalis digoncang oleh sebuah artikel di dalam sebuah majalah yang kemudian menjadi populer, Christian Life, yang berjudul, “Apakah Theologi Injili Berubah? (Is Evangelical Theology Changing?)”. Beberapa kontributor kunci artikel tersebut adalah Terrelle Crum, Dekan Sekolah Alkitab Providence-Barrington; Vernon Grounds, Rektor Sekolah Theologi Baptis Konservatif; Carl F. H. Henry, Profesor Theologi Sistematika di Sekolah Theologi Fuller; Lloyd Kalland, Profesor Agama di Sekolah Theologi Gordon; Kenneth Kantzer, Profesor Alkitab di Wheaton College; dan Warren Young, Dekan Sekolah Theologi Baptis Utara. Artikel tersebut menegaskan apa yang telah diketahui banyak orang – individu-individu terkemuka, yang dulunya disebut “fundamentalis” tergeser dari posisi asli fundamentalismenya menuju pendirian yang lebih luas dan lebih akomodatif.

Pada tahun 1956 juga, Christianity Today mulai terbit. Ia diterbitkan untuk menjawab pengaruh dari suara liberalisme theologis yang terkenal – Christian Century. Dengan dorongan dari Billy Graham dan promosi para pemimpin Injili Baru lainnya, majalah tersebut segera dikenal luas dan menjadi suara yang disegani dari gerakan baru itu.

Pada tahun 1957 gelombang pasang mulai berubah ke pihak penyebaran injili yang besar. Billy Graham, seorang bintang yang tampil di atas horizon injili, memutuskan untuk memperluas pendekatannya dan memimpin perjuangan ekumenisnya yang pertama di New York City. Banyak di antara sahabatnya yang memberi peringatan yang menentangnya, dan banyak yang menolak untuk bekerjasama, tetapi ia tetap meneruskan jalannya. Gereja-gereja liberal kota metropolis besar tersebut dimobilisasi di dalam kampanye itu, dan pelajaran Graham ditaruh sebagai bagian akhir dari pelayanannya.

Pada tahun akhir 1950-an dan awal 1960-an sebuah peperangan yang hebat terjadi antara gerakan Baptis Konservatif dan Injili Baru. Sekolah Theologi Baptis Konservatif di Denver, Colorado, di bawah pimpinan Vernon Grounds, menjadi pusat pengajaran Injili Baru. Pengajaran ini ditentang oleh Pillsbury College, yang dipimpin oleh Monroe Parker; Sekolah Theologi Baptis Konservatif San Francisco, yang dipimpin oleh Arno dan Archer Weniger; dan Sekolah Theologi Baptis Konservatif Pusat, yang didirikan oleh Richard V. Clearwaters. Ratusan gereja dikalahkan oleh Gerakan Baptis Konservatif, dan sebuah dewan misi baru lahir – The World Conservative Baptist Mission (kini disebut Baptist World Mission). Banyak gereja yang gugur tidak mempunyai afiliasi. Sebagian masuk menjadi bagian dari Asosiasi Gereja-gereja Baptis Perjanjian Baru (The New Testament Association of Baptist Churches). Peperangan ini hanya merupakan salah satu contoh konflik yang diciptakan oleh Injili Baru. (bersambung ke bagian 3)

Dari buku: the Tragedy of Compromise: The Origin and Impact of the New Evangelicalism

By: Ernest D. Pickering

Sumber: http://dedewijaya.blogspot.com

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments

Anda rindu Didoakan dan Bertanya?