Friday, March 29, 2024
Google search engine
HomeUncategorizedThe Tragedy of Compromise (bagian 1)

The Tragedy of Compromise (bagian 1)

Serigala Berbulu Domba

Kontroversi Fundamentalis – Modernis

[AkhirZaman.org] Tuhan sendiri yang memperingatkan, “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas” (Mat. 7: 15). Hal yang sama juga Paulus peringatkan mengenai ‘serigala-serigala yang ganas’ yang akan muncul ditengah-tengah kawanan untuk menerkam domba yang tak berdaya (Kis. 20: 29). Inti dari kedua perikop itu adalah bahwa serigala bisa tampak seperti domba. Hal ini merupakan cara Setan yang penuh tipu-daya. Agen-agennya telah “menyelusup” (sebuah frase di dalam Yudas 4 yang mengindikasikan kelicikan dan perbuatan yang dilakukan secara diam-diam). Bukanlah sesuatu yang mengagetkan jika iblis mempunyai keinginan untuk menyusup ke dalam jemaat, yang merupakan tubuh Kristus. Dengan melakukan hal tersebut, kekuasaan tertinggi iblis bisa menghalangi perkembangan Injil yang luar biasa.

Racun Dari Eropa

Abad ketujuhbelas dan kedelapanbelas menyaksikan kebangkitan sistem baru pemikiran yang merusak Kekristenan yang alkitabiah. Periode sejarah umat manusia itu dikenal sebagai Masa Pencerahan. Namun, masa tersebut bukannya memberikan terang kepada umat manusia, tetapi sebaliknya malah menambah kegelapan dengan menolak wahyu illahi yang merupakan satu-satunya pencerahan yang sejati.

Deisme, naturalisme dan rasionalisme yang berkembang-biak di dalam pikiran para cendekiawan yang tidak lahir-baru di Inggris dan di benua Eropa, mulai menggerogot seperti kanker yang menyerang hal-hal yang sangat penting dalam iman Kristen. Dari sini lahirlah sistem pemikiran yang akhirnya memperkuat gerakan yang disebut modernisme, dimana suatu peperangan theologis yang hebat berkecamuk pada abad keduapuluh. Orang-orang seperti John Locke, Earl of Shaftesbury (Pangeran Shaftesbury), Voltaire, Jean Jacques Rousseau, Christian Wolff, dan Immanuel Kant meletakkan dasar yang amat menyesatkan, yang kemudian melanda jemaat yang beriman.

Bagi orang-orang tersebut, Pencerahan merupakan keluarnya umat manusia dari suatu masa ketidakdewasaan yang bercirikan ketergantungan kepada otoritas eksternal seperti Alkitab dan gereja. Makhluk hidup tidak perlu terikat lagi dengan dogma-dogma tertentu yang kaku. Kini manusia dapat menggunakan “pikiran yang bebas”, tidak lagi terkekang oleh konsep-konsep theologis yang sudah kuno. Mereka mengatakan, bahwa “mujizat” harus diuji berdasarkan akal-sehat manusia. Tidak boleh lagi seseorang dipaksa untuk percaya dan menerima cerita-cerita di dalam Alkitab sebagai sesuatu yang otentik. Orang harus berpikir untuk dirinya sendiri terlepas dari hal yang dinyatakan sebagai wahyu illahi. Manusia tidak perlu lagi memandang Alkitab sebagai hal yang otoritatif. Pena para cendekiawan menggemakan ucapan sang pangeran dusta, “Tentulah Allah berfirman: …, bukan?” (Kej. 3: 1).

Di atas gelombang Pencerahan muncullah suatu kegilaan terhadap teori evolusi. Hal itu merupakan cara yang enak untuk menjelaskan eksistensi alam semesta tanpa harus malu menyebut adanya makhluk illahi. Ini sangat sesuai dengan kerangka berpikir humanistik yang sedang berkembang. Agama bagi masyarakat ‘yang diterangi’ tersebut adalah terus-menerus berusaha mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan, bukannya suatu sikap rendah hati untuk menanggapi wahyu illahi. Manusia mengembangkan pemahamannya sendiri terhadap Tuhan. Ia keluar dari sikap mudah percaya yang gelap menuju kepada sikap yang lebih memahami potensinya. Karena itulah, ‘kaum pencerahan’ itu menyambut dalil para cendekiawan seperti Roussseau yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya baik.

Pencerahan membawa pengaruh yang amat besar kepada gereja Kristen. Sementara beberapa doktrinnya kemudian diserang oleh para pemikir lain, banyak konsep-konsep fundamental diperkenalkan oleh penulis-penulis pada Masa Akal-Sehat ini menjadi bagian dari sistem yang disebut modernisme yang menyebar bagai wabah ke seluruh Kekristenan.

Filsuf Jerman seperti George Hegel merupakan salah satu bapak liberalisme abad kesembilanbelas. Ia mengemukakan perpaduan theologi dan filosofi seperti halnya juga agama dan akal-sehat. Konsepnya mengenai sifat pemikiran dialektis membawa pengaruh sangat besar kepada para theolog yang kemudian. Menurut Hegel, tidak ada kebenaran yang permanen, bahkan Tuhan sendiri berubah. Pendekatan Hegel membuka jalan yang menggeser habis pemikiran religius dari hal yang absolut menjadi hal yang tentatif dan subyektif. Ia menekankan unsur intelektual di dalam pemikiran religius sehingga merusak eksegesis alkitabiah.

Seorang rekan Jermannya yang membawa pengaruh besar atas pemikiran religius adalah Friedrich Schleiermacher. Penekanannya adalah kepada pengalaman religius. Baginya, agama yang sejati adalah sebuah perasaan dependensi (ketergantungan) kepada “Yang Maha Kuasa” (dalam pemikirannya bukan satu pribadi Tuhan). Seorang Kristen adalah seseorang yang mempunyai suatu “pengalaman,” yaitu sebuah intuisi yang dimilikinya sendiri. Jadi, Kekristenan bukan berdasarkan kepada wahyu Allah yang obyektif, sempurna dan final, tetapi di dalam “pengalaman-pengalaman yang dirasakan” dari para pemeluknya. Pengajaran yang salah ini secara nyata telah merembes ke dalam gereja modern dan menghancurkannya.

Liberalisme Theologis

Dari matriks campuran ketidakpercayaan Eropa ini muncullah gerakan yang dikenal di dalam sejarah gereja sebagai modernisme, yang kini sering dirujuk sebagai liberalisme theologis. Apakah ciri-ciri liberalisme itu?

Menolak doktrin Kristen yang historis tentang inspirasi Alkitab.

Toleransi terhadap semua pandangan yang berasal dari kelompok-kelompok agama.

Menekankan keabsahan pengalaman manusia atas wahyu kebenaran Tuhan.

Menolak keillahian Kristus yang absolut dan unik.

Menekankan martabat dan kebaikan manusia.

Menolak kebobrokan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, sehingga sangat membutuhkan kelahiran baru.

Mempertahankan konsep bahwa segala sesuatu berasal dari evolusi yang bertentangan dengan pandangan bahwa segala sesuatu diciptakan Tuhan sekali jadi.

Menyangkal campur-tangan supranatural Tuhan terhadap sejarah manusia.

Menekankan injil sosial,yakni bahwa misi utama dari gereja adalah mengoreksi penyakit-penyakit sosial. Dosa pada dasarnya adalah masalah sosial, sehingga keselamatan harus mencakup koreksi terhadap permasalahan-permasalahan sosial tersebut.

Dengan bersenjatakan theologi ini, para pemimpin liberal dari denominasi-denominasi yang sudah mapan mulai melakukan pengaruh yang harus dipertimbangkan. Liberalisme menjadi pandangan yang dominan di kebanyakan perguruan tinggi theologi denominasional. Pada bagian akhir abad kesembilanbelas, kekuatan liberal yang sedang berkembang mulai menjadi lebih nyata. Kaum liberal berpendapat bahwa perubahan besar telah terjadi di dunia sejak masa Kristus dan bahwa jika Kekristenan ingin berhasil, maka ia juga harus berubah. Mereka menyatakan, bahwa kita harus menegaskan “pengalaman kekal” atas iman di dalam konteks theologis dan kultural, sehingga dapat diterima oleh manusia modern. Karena mereka yang mengendalikan para aparat gereja dalam kebanyakan denominasi, maka mereka bisa menyebarkan doktrin mereka dengan luas. Dengan demikian firman Allah digenapi: “Tetapi Roh dengan tegas mengatakan bahwa diwaktu-waktu kemudian, ada orang yang akan murtad lalu mengikuti roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan” ( 1Tim. 4: 1).[1]

Tantangan Liberalisme

Tuhan yang maha kuasa tidak membiarkan serangan terhadap FirmanNya berlalu begitu saja. Banyak sekali pejuang salib yang gagah berani tampil untuk memerangi penguasa-penguasa kegelapan itu. Konferensi-konferensi Alkitab interdenominasi mulai muncul di berbagai daerah. Disana kebenaran agung iman Kristen yang bersejarah diuraikan oleh tokoh-tokoh seperti James Brookes, W. E. Blackstone, A.T. Pierson, C. I. Scofield, A. C. Gaebelein, James M. Gray, dan banyak lagi yang lain. Konferensi Alkitab Niagara merupakan salah satu konferensi pertama dari semua konferensi tersebut yang kemudian diikuti oleh berbagai konferensi yang lain termasuk yang diadakan di Winona Lake, Indiana, dan Montrose, Pennsylvania. Khalayak ramai berkumpul selama bertahun-tahun di tempat-tempat tersebut dan mendengarkan pemberitaan Alkitab menggemparkan yang menegaskan kembali pengajaran Firman Allah.

Kira-kira tahun 1910, Lyman Stewart, salah seorang pendiri perusahaan yang kemudian dikenal sebagai Union Oil Company dan seorang Kristen yang berdedikasi, memutuskan untuk mendanai penerbitan suatu booklet yang diberi nama umum The Fundamentals. Cendekiawan-cendekiawan dan para pengkhotbah Kristen yang hebat menyumbangkan artikel-artikel tentang doktrin seperti kelahiran Kristus oleh anak dara, Kitab Suci yang diinspirasikan, kebangkitan Tuhan secara jasmaniah, penebusan, dan permasalahan penting lainnya. Mereka yang mendukung doktrin-doktrin Kristen yang historis tersebut menjadi populer dengan sebutan fundamentalis.

Beberapa pemimpin fundamentalis yang merasa perlu untuk lebih menyepakati suatu posisi dalam menghadapi liberalisme yang kuat pada masa itu, memutuskan untuk mendirikan sebuah organisasi baru. Sehingga pada tahun 1919 mereka mendirikan The World Christian Fundamentals Association (Asosiasi Kristen Fundamental Dunia) di Philadelphia. W. B Riley, gembala The First Baptist Church of Minneapolis, Minnesota, menjadi ketuanya yang pertama. Organisasi itu merupakan tonggak sejarah yang penting di dalam perkembangan gerakan fundamentalis.

Terjadilah pertentangan yang dahsyat ketika kaum fundamentalis berjuang menyingkap dan menentang kaum modernis penyangkal Alkitab yang sedang melemahkan inti kehidupan dari jemaat-jemaat Kristus. Konflik yang monumental terjadi di dalam Gereja Presbyterian di Amerika Serikat, yang berpusat di lembaga pendidikan sejarah – Princeton Seminary (Sekolah Theologi Princeton). J. Gresham Machen, seorang ahli Perjanjian Baru yang hebat memimpin sebuah unjuk-rasa menentang liberalisme yang muncul di dalam denominasi Presbyterian dan di dalam Princeton Seminary itu sendiri. Sebagai akibat dari konflik tersebut, para dosen yang mempertahankan Alkitab keluar dan mendirikan sekolah theologi yang lain, dan Princeton segera jatuh ke dalam kekuasaan liberalisme.

Kaum Baptis juga tak terhindarkan dari kekacauan theologis dan gerejawi itu. Berkali-kali para pemimpin fundamentalis di dalam Konvensi Baptis Utara (The Northern Baptist Convention) berusaha memposisikan denominasi tersebut di atas dasar alkitabiah, namun usaha mereka terus-menerus digagalkan oleh intrik politis kaum liberal. Karena kecewa oleh kegagalan yang berulang-ulang, kaum fundamentalis mulai mengambil langkah yang lain. Perkumpulan Misi Luar Negeri Baptis Konservatif (The Conservative Baptist Foreign Mission Society) dan kemudian juga Perkumpulan Misi Dalam Negeri Baptis Konservatif (The Conservative Baptist Home Mission Society) didirikan, kedua-duanya bertujuan untuk menampung dana dari gereja-gereja di dalam Konvensi Baptis Utara yang tidak senang dengan program liberal. Muncullah Asosiasi Baptis Konservatif (The Conservative Baptist Association), dan secara bertahap mereka memisahkan diri dari Konvensi tersebut. Banyak gereja yang sepenuhnya menarik diri dari konvensi itu dan berafiliasi dengan Asosiasi Umum Gereja-gereja Baptis Reguler (The General Association of Regular Baptist Churches).

Tokoh-tokoh besar iman yang lain muncul di dalam berbagai kelompok. William McCarrell memelopori beberapa gereja keluar dari Congregationalism dan mendirikan Gereja-gereja Fundamental Independen Amerika (The Independent Fundamental Churches of America). Robert (“Fighting Bob”) Shuler, gembala yang lama melayani Gereja Methodis Tritunggal (The Trinity Methodist Church) yang besar di Los Angeles, menentang kaum liberal dalam denominasinya melalui tulisan-tulisan di dalam majalahnya, The Methodist Challenge. Suara-suara seperti dari J. Frank Norris menentang kesesatan yang berkembang di dalam Konvensi Baptis Selatan (The Southern Baptist Convention). Bukan hal yang mudah mengambil sikap berani untuk mempertahankan keyakinan demikian. Tindakan tersebut banyak mengorbankan persahabatan yang telah lama terbina. Mereka menjadi bahan tertawaan di dalam media umum, demikian juga di dalam terbitan berkala denominasional, dan peran mereka dicemarkan. Mereka dianggap sebagai “pengacau Israel,” namun mereka tetap mempertahankan doktrin-doktrin itu sebagai hal yang mulia. Pada akhir pelayanan mereka, pada saat mereka melapor kepada Tuhan di surga mengenai gereja, mereka bisa berkata seperti yang dikatakan rasul yang hebat, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” (2 Tim. 4: 7).

Pasti, orang-orang tersebut memiliki ‘noda’ dan ‘kelemahan-kelemahan masa lalu yang tidak disadari’. Tahun-tahun terakhir ini muncul beberapa kritik yang mengkhususkan diri untuk membuka semua ‘noda’ yang dapat dikenakan kepada beberapa pemimpin fundamentalis. Jelas mereka mempunyai kekeliruan, namun mereka berani berdiri teguh demi kebenaran Firman Tuhan yang kekal pada masa yang sulit. Mereka harus dihormati untuk itu.

Namun harus diperhatikan, bahwa sedih sekali di antara mereka ada yang menjadi letih dengan peperangan itu dan ingin “meletakkan persenjataan mereka”. Kaum fundamentalis harus memperhatikan peringatan berharga yang diberikan oleh salah seorang sejarawan gerakan tersebut: “Sesungguhnya semua gerakan rohani pada akhirnya akan berkurang kegiatan dan kekuatan keyakinannya. Kebenaran yang tadinya dipertahankan secara dinamis berubah menjadi hanya dipegang secara formal… Pemimpin baru yang muncul tidak pernah mengalami penderitaan. Bagi mereka peperangan telah berakhir… Satu-satunya Fundamentalis yang sejati adalah Fundamentalis yang bertempur.”[2]

————————————————————-
[1]Untuk mengetahui keyakinan dan latar-belakang liberalisme, perhatikan karya-karya berikut. Untuk perkembangan filosofis dan historis, lihat J. L. Neve, A History of Christian Thought, Vol. 2, buku kelima, bab 1-7. Untuk pembelaan terhadap liberalisme, lihat Donald Miller, The Case for Liberal Christianity. Untuk penolakan terhadap liberalisme, lihat J. Grescham Machen, Christianity and Liberalism.

[2]David Beale, In Pursuit of Purity, hal. 356-357.

Dari buku: the Tragedy of Compromise: The Origin and Impact of the New Evangelicalism

By: Ernest D. Pickering

Sumber: http://dedewijaya.blogspot.com

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments

Anda rindu Didoakan dan Bertanya?